Opini (Gagasan)
Masa Depan LPP TVRI dan RRI
Oleh: Supadiyanto
Kita patut prihatin atas nasib Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI dan RRI sekarang. Ada tiga persoalan berat menimpa LPP TVRI dan RRI. Pertama, minimnya pemirsa/pendengar yang loyal. Keoknya mutu siaran TVRI dan RRI jika ditandingkan dengan berbagai stasiun televisi dan radio swasta memicu rendahnya audiens mengakses dua lembaga penyiaran plat merah itu.
Kalah bersaingnya LPP TVRI dan RRI dengan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) seiring banyaknya pilihan suguhan acara yang dimiliki. Penonton dan pendengar pun saat ini bebas memilih acara yang disukai cukup dengan menekan tombol atau menggeser kanal. Masalah kedua yaitu masalah regenerasi karyawan TVRI dan RRI. Hal ini menjadi masalah besar sejak 19 tahun terakhir (1998-sekarang). Karena sejak Orde Reformasi sampai sekarang, manajemen LPP TVRI dan RRI dilarang melakukan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Akibatnya, proses regenerasi atau peremajaan pegawai LPP TVRI dan RRI menjadi stagnan. Mayoritas pegawai LPP TVRI dan RRI kini telah berusia "sepuh". Sebagai gambaran, jumlah pegawai TVRI saja sudah mencapai 6.000 orang. Tingginya usia pegawai di atas 50 tahun mengakibatkan aspek produktivitas, kreativitas, dan inovasi menjadi rendah. Sebagai contoh TVRI Yogyakarta, saat ini memiliki 245 pegawai terdiri atas 130 pegawai berusia di atas 50 tahun (53,1 persen), 48 pegawai berusia 46-50 tahun (19,6 persen), sisanya berada direntang usia 25-45 tahun.
Tantangan ini menjadi kendala berat bagi pihak manajemen untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja pegawai mengingat faktor usia "senja" tersebut. Jumlah pegawainya yang "gemuk" juga memicu terjadinya pemborosan belanja pegawai. Bandingkan dengan postur manajemen sebuah TV Swasta nasional hanya memiliki 800 pegawai, namun mampu bersiaran selama 24 jam/hari dan memiliki 50 lokasi transmisi/pemancar. Sementara dana operasional yang dihabiskan hanya sebesar Rp 500–600 miliar per tahun. Berbeda dengan manajemen TVRI yang setiap tahunnya menghabiskan dana lebih dari Rp 1 triliun.
Tentunya perkara ini menjadi masalah kronis yang harus segera ditanggulangi oleh manajemen TVRI. Problematika serupa juga menimpa RRI, karena memiliki pegawai yang sebagian besar berusia "senja". Ketiga, persoalan serius yang dihadapi LPP TVRI dan RRI adalah pemborosan anggaran operasional. Anggaran operasional TVRI selama tahun 2016 tercatat Rp 1.065.527.291.000. Sementara RRI menelan Rp 945.702.910.000. Itupun LPP TVRI masih berutang sebesar Rp Rp 140.688.690.813. Jika dianalisis, sebagian besar anggaran operasional TVRI dan RRI tersebut habis digunakan untuk biaya belanja pegawai. Ingat, karyawan TVRI dan RRI secara nasional berjumlah sangat besar, wajar harus dirampingkan.
Rencana penggabungan manajemen TVRI dan RRI (RTRI) melalui pelahiran Rancangan Undang-Undang Radio dan Televisi Republik Indonesia (RTRI) yang saat ini tengah digodok oleh Komisi I DPR RI berbarengan dengan RUU Penyiaran baru, menjadi langkah strategis untuk melakukan efisiensi dan perampingan pegawai LPP TVRI dan RRI. Terakhir, persoalan serius yang dihadapi TVRI dan RRI adalah merebut pasar iklan.
Berdasarkan data Nielsen 2016, belanja iklan televisi nasional masih didominasi kelompok MNC Group yaitu RCTI memperoleh pendapatan iklan sebesar Rp 9,9 triliun, MNCTV Rp 7,9 triliun, Global TV Rp 5,4 triliun. Sementara Indosiar memperoleh Rp 7 triliun, SCTV Rp 8,8 triliun, Trans TV Rp 4,525 triliun, Trans 7 Rp 4,525 triliun, ANTV Rp 6,6 triliun, Kompas TV Rp 1,3 triliun, NET Rp 1 triliun, dan TVRI Rp 44,4 miliar.
Ternyata perolehan pendapatan iklan TVRI jauh tertinggal dari pendapatan iklan milik NET yang terbilang pemain baru. Memang besar atau kecilnya pendapatan iklan dari sebuah stasiun televisi maupun radio sangat bergantung berapa banyak jumlah pemirsa atau pendengar yang loyal kepada program-program yang ditayangkan/disiarkan oleh stasiun televisi maupun radio. Kemampuan para pekerja media dalam memproduksi dan menyiarkan program-program yang mampu memenuhi kebutuhan akan hiburan, informasi, dan pendidikan, serta kontrol sosial menjadi kunci bagi manajemen televisi maupun radio untuk memikat hati pemirsa maupun pendengar. Lantas berefek pada besarnya pemasang iklan yang memasang di media bersangkutan.
Saat ini Badan Legislatif DPR RI tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dipersiapkan untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Saat bersamaan, Komisi 1 DPR RI juga tengah mempersiapkan RUU Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI). Dua jenis RUU ini diharapkan bisa menata arsitektur media penyiaran menjadi lebih pro publik. Harapannya, posisi TVRI dan juga RRI sebagai media milik publik (rakyat) dapat semakin lebih kokoh lagi.
Namun idealnya, era konvergensi multimedia massa di mana sudah menyatukan berbagai teknologi, konten, kepemilikan, dan juga pemasarannya; juga harus diimbangi dengan penyatuan regulasi dan regulatornya. Seharusnya spirit perevisian UU Penyiaran tersebut disinergisasikan dengan perevisian UU Pers (Nomor 40 Tahun 1999), UU Telekomunikasi (Nomor 36 Tahun 1999), UU Informasi dan Transaksi Elektronik (Nomor 11 Tahun 2008), dan UU Keterbukaan Informasi Publik (Nomor 14 Tahun 2008). Bangsa ini membutuhkan Undang-Undang Konvergensi Multimedia Massa, maupun Telematika.
Faktanya sekarang, lanskap industri media massa cetak maupun elektronik hanya dikuasai oleh 13 korporasi swasta nasional (yang memiliki jaringan di berbagai kota/daerah) menjadi “ancaman besar” bagi terjaganya prinsip keberagaman konten (diversity of content), keberagaman kepemilikan (diversity of ownership). Adapun korporasi raksasa yang menguasai peta industri media massa (cetak maupun elektronik) di Indonesia adalah MNC Group; Kompas Gramedia Group; Elang Mahkota Teknologi Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings/Lippo Group, Media Group; Visi Media Asia (Bakrie & Brothers); Jawa Pos Group; MRA Media; Femina Group; Tempo Inti Media; Media Bali Post Group (Nugroho, Yanuar. dkk. 2012 dan Lim, M. 2012).
Dampak dari hegemoni korporasi media raksasa ini, mengakibatkan nasib media penyiaran publik (TVRI dan RRI), komunitas, dan lokal menjadi keok bersaing dengan “para gajah-raksasa” di atas yang didukung penuh oleh kekuatan modal yang "tanpa batas", kekuatan sumber daya manusia yang tinggi, serta teknologi telekomunikasi, media, dan informatika (Telematika) yang unggul, dan koneksi atau jaringan perusahaan media lintas negara. Adanya dominasi kepemilikan saham berbagai perusahaan media penyiaran oleh segelintir pengusaha media, berdampak pada “keseragaman” isi siaran sekaligus “keseragaman” pelanggaran yang dilakukan.
Apalagi para pemilik media penyiaran tersebut menggunakan jaringan medianya untuk menggolkan ambisi politiknya. Manajemen TVRI dan RRI harus berani bersaing dengan Lembaga Penyiaran Swasta dan Berlangganan. Kalau tidak, nasib mereka akan tertelindas oleh perubahan zaman yang sangat cepat. Di luar negeri, pengelolaan lembaga penyiaran publik sebagaian besar dengan mengandalkan iuran penyiaran dan memiliki pangsa pasar cukup tinggi.
Radio BBC di Inggris didanai dari iuaran penyiaran dan memiliki market share sebesar 57,7 persen. Sama halnya pengelolaan ARD&ZDF di Jerman, RAI di Italia, Swedish Radio/TV di Swedia. Australia memiliki ABC&SBS, MTV/MR di Hungaria, NPO di Belanda, dan ERR di Estonia mengandalkan pajak dan APBN sebagai sumber pembiayaan operasionalnya. Pertanyaannya, TVRI dan RRI ke depan (quo vadis) mau didesain dengan model pengelolaan manajemen lembaga penyiaran publik seperti apakah agar dapat lebih dicintai oleh pemirsa dan pendengar di Nusantara?
Supadiyanto, S.Sos.I,. M.I.Kom., Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY&Dosen Jurusan KPI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga dan AKINDO Yogyakarta
Sumber: Harian Bernas edisi 21 Juli 2017
Pengumuman SBMPTN 2016 dan Sukses Kuliah
Oleh: Supadiyanto, S.Sos.I., M.I.Kom.
Panitia Pusat Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2016 akan mengumumkan hasil penjaringan calon mahasiswa baru berbagai PTN secara serentak pada Selasa, 28 Juni 2016 pukul 17.00 WIB melalui situs www.sbmptn.ac.id maupun situs-situs yang dikelola PTN penyelenggara SBMPTN. Pengumuman SBMPTN 2016 juga bisa disimak di berbagai media cetak (koran) edisi Rabu, 29 Juni 2016. Sebagaimana diketahui bersama, sebanyak 721.314 peserta (lulusan SMA/K/MA) se-Indonesia mengikuti ujian tertulis SBMPTN pada Selasa, 31 Mei 2016 kemarin.
Padahal kuota yang tersedia hanya 99.223 kursi (mahasiswa baru) yang tersebar merata pada 78 PTN di Indonesia. Khusus di DIY, ada 4 PTN yang menyediakan kursi bagi mahasiswa baru sebanyak 4.503 kursi di UGM, UNY, UIN Sunan Kalijaga, dan UPN Veteran Yogyakarta. Padahal jumlah pendaftar yang ikut tes SBMPTN khususnya di wilayah Yogyakarta sebanyak 30.321 orang. Dengan demikian tingkat kompetisi untuk memperebutkan kursi PTN sangat tinggi baik berlaku secara nasional maupun lokal.
Logikanya, sudah dapat dipastikan akan ada 622.091 pendaftar yang gagal atau tidak lulus SBMPTN 2016. Angka yang sangat fantastis. Mereka inilah yang kini dijadikan target pasar utama oleh para pengelola Perguruan Tinggi Swasta (PTS) maupun PTN yang membuka jalur mandiri. Peluang pasar yang sangat tinggi, menandakan bahwa "bisnis perguruan tinggi" di Indonesia masih sangat prospektif. Secara ekonomi-bisnis, eksistensi perguruan tinggi sebagai “mercusuar keilmuan” di negeri ini menjadi institusi yang masih diandalkan oleh institusi birokrasi, swasta, maupun publik.
Begitu banyak perguruan tinggi negeri dan swasta berdiri di negeri ini. Khusus di lingkungan Yogyakarta saja, terdapat 106 PTS dalam bentuk universitas, institut, sekolah tinggi, dan akademi. Secara nasional, jumlah PTS dan PTN se-Indonesia sekitar 3.400 buah. Dengan begitu banyaknya PTN/S yang ada di Indonesia, mengindikasikan bahwa geliat industri perguruan tinggi terus menanjak dari tahun ke tahun.Namun sekaligus bisa membingungkan para calon mahasiswa untuk memilih perguruan tinggi favorit mereka untuk melanjutkan kuliah.
Karena minimalisnya informasi terkait petunjuk valid bagi para lulusan SMA/K/MA maupun orangtua/wali mereka untuk menemukan PTN/S yang berkualitas dan terjangkau secara kemampuan finansial; menyebabkan banyak kalangan mengaku kebingungan untuk menentukan pilihan ingin melanjutkan kuliah di kampus manakah di tengah ribuan PTN dan PTS yang ada di Indonesia ini. Hal ini disebabkan kesulitan para calon mahasiswa maupun orangtua murid mendapatkan suplai informasi yang memadai dari berbagai sumber/referensi mengenai keunggulan yang dimiliki oleh berbagai PTN/S di Indonesia. Untuk itulah, berdasarkan pengalaman penulis selama 16 tahun belakangan ini baik status penulis pernah menjadi mahasiswa sejumlah PTN dan PTS serta pernah menjadi dosen sejumlah PTN maupun PTS di Yogyakarta; berikut ini dibeberkan mengenai tips sederhana untuk membantu memilih dan menentukan perguruan tinggi yang tepat (berkualitas namun biaya kuliah terjangkau) untuk tempat kuliah bagi para lulusan SMA/K/MA.
Pertama, lihat akreditasi institusi maupun program studi yang dimiliki oleh Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta yang akan dituju. Hanya ada 3 kategori akreditasi, yaitu A, B, dan C. Perguruan tinggi yang memperoleh akreditasi A artinya Amat Baik Sekali. Maksudnya secara kompetitif, perguruan tinggi yang mengantongi akreditasi A layak berkompetisi di tingkat Internasional. Sementara perguruan tinggi yang terakreditasi B (Baik Sekali) secara normatif layak berkompetisi di tingkat nasional.
Sedangkan perguruan tinggi yang memperoleh akreditasi C (Cukup) hanya layak berkompetisi di tingkat lokal saja. Dengan demikian paling tidak para calon mahasiswa baru harus mencari perguruan tinggi yang terakreditasi minimal B. Termasuk nilai akreditasi untuk program studinya juga minimal B. Hati-hati jika ada perguruan tinggi yang memperoleh akreditasi C atau bahkan belum terakreditasi baik secara institusi maupun program studi.
Kedua, cermati juga bagaimana kualitas dan kuantitas dosen (staf pengajar) yang dimiliki perguruan tinggi tersebut. Pada umumnya, perguruan tinggi yang baik akan menampilkan daftar dosen tetap yang mengajar pada program studi maupun kampus tersebut. Pastikan bahwa para dosen tetap yang mengajar pada perguruan tinggi tersebut telah bergelar minimal S2 (Master). Menjadi nilai plus jika perguruan tinggi tersebut memiliki dosen tetap yang bergelar Doktor maupun Profesor (Guru Besar). Pastikan juga bahwa para dosen tetap yang mengampu mata kulih di perguruan tinggi tersebut memiliki hasil-hasil penelitian yang terpublikasikan pada berbagai jurnal ilmiah. Semakin banyak hasil penelitian yang terpublikasikan milik para dosen tersebut, akan semakin bagus kualitas intelektual yang dimiliki para dosen.
Ketiga, untuk mengetahui kualitas perguruan tinggi cukup mudah dengan melihat jejak rekam dari para lulusan (alumni) yang sudah dihasilkan oleh perguruan tinggi bersangkutan. Semakin banyak alumni yang dimiliki sekaligus telah berkarir pada berbagai instansi pemerintah, swasta maupun mandiri; menunjukkan kaliber dari kualitas perguruan tinggi bersangkutan. Mengingat saat ini kita hidup di era globalisasi, semakin besarnya jaringan luar negeri yang dimiliki oleh sebuah kampus akan meningkatkan kredibilitas institusi terkait.
Keempat, parameter yang bisa diferivikasi oleh para lulusan SMA/K/MA untuk mengetahui kualitas sebuah perguruan tinggi adalah fasilitas dan infrastruktur yang dimiliki. Bangunan/gedung yang dimiliki seyogyanya adalah milik sendiri, bukan dari hasil menyewa. Pastikan fasilitas pendukung lainnya seperti laboratorium, perpustakaan, pusat studi, unit kegiatan mahasiswa, pusat kebugaran, dan fasilitas pendukung lainnya dimiliki oleh kampus tersebut. Semakin kecil atau sedikit fasilitas dan infrastruktur yang dimiliki, dapat dikategorikan kampus tersebut kurang bonafit.
Kelima, pastikan kurikulum yang dimiliki sudah sesuai dengan standar yang diberlakukan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI. Kurikulum perguruan tinggi terimplementasikan melalui mata kuliah yang akan diberikan kepada para mahasiswa. Semakin implementatif dan visioner kurikulum dan daftar mata kuliah yang akan diajarkan pada para mahasiswa, semakin baik kualitas kurikulum tersebut. Awal Februari 2016 kemarin Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) baru saja merilis daftar pemeringkatan PTN/S se-Indonesia berdasarkan kualitas dari 4 parameter. Parameter itu terdiri dari kualitas SDM, kualitas manajemen, kualitas hasil penelitian terpublikasi, dan kualitas kegiatan mahasiswa. Data tersebut sangat tepat dijadikan referensi utama bagi para lulusan SMA/K/MA untuk menentukan pilihan dan kualitas perguruan tinggi yang diminatinya.
Sebaiknya juga sebelum para lulusan SMA/K/MA yang gagal SBMPTN 2016 mendaftarkan diri untuk kuliah di PTS maupun PTN dengan jalur mandiri; mereka harus mengumpulkan informasi lengkap yang bisa saja diperoleh dari Kantor Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) yang menaungi PTS pada setiap provinsi. Atau bisa juga mencari informasi dari saudara, rekan, tetangga maupun kenalan yang telah menempuh kuliah pada perguruan tinggi di suatu daerah. Dengan mendengarkan pengalaman dan nasihat dari orangtua, guru, tokoh masyarakat, dan jurnalis juga menjadi langkah bijaksana sebelum para lulusan SMA/K/MA menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan studi lanjut ke suatu perguruan tinggi.
Sukses kuliah merupakan impian yang dimiliki oleh hampir seluruh lulusan SMA/K/MA. Mereka ingin merealiasikan impian dan cita-cita mereka menjadi manusia-manusia yang berguna bagi kemajuan dan kesejahteraan keluarga, masyarakat, dan negara. Kegagalan dalam SBMPTN 2016 jangan dimaknai sebagai kegagalan dari masa depan hidup. Maknailah sebagai pengalaman berharga dan kesuksesan yang tertunda.
Kesuksesan dan lulus SBMPTN 2016 juga terus jangan dimaknai sebagai kebanggaan diri sehingga menjebak seseorang untuk bersikap angkuh, sombong, dan arogan. Maknailah sebagai ujian hidup untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar lagi. Sukses kuliah (entah di bangku PTN maupun PTS) merupakan titik awal dari pencapaian kesuksesan hidup Anda. Selamat kepada para lulusan SMA/K/MA yang lulus SBMPTN 2016, semoga Anda menjadi mahasiswa teladan. Selamat juga kepada lulusan SMA/K/MA yang tidak lulus SBMPTN 2016, semoga Anda mendapatkan tempat kuliah yang lebih bagus.
*) Supadiyanto, S.Sos.I., M.I.Kom., Alumni Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang; Kini Dosen AKINDO Yogyakarta
Sumber: Dikutip dari Harian BERNAS edisi Selasa, 28 Juni 2016.
___________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
KPI dan Cetak Biru Penyiaran
Oleh: Supadiyanto, S.Sos.I., M.I.Kom.*
Masa jabatan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Periode 2013-2016 secara resmi akan habis pada akhir Juli 2016 mendatang. Kini Panitia Seleksi Calon Anggota Komisioner KPI Periode 2016-2019 bersama dengan Komisi I DPR RI secara estafet tengah melakukan rekrutmen komisoner KPI. Tak disangka-sangka, di tengah badai kritik dan pandangan sinis terkait eksistensi KPI; ternyata animo masyarakat mendaftar menjadi komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat cukup tinggi.
Mereka berasal dari berbagai disiplin ilmu, profesi, suku, daerah, agama, maupun gender. Terbukti sejak dibuka pendaftaran pada 12-26 April 2016 ada 689 pelamar yang mengajukan aplikasi ke Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Periode 2016-2019. Dari ratusan pelamar tersebut, terdapat 5 komisioner KPI Pusat 2013-2016 (petahana) yang maju lagi, dan juga para petahana komisioner KPID dari berbagai daerah.
Meskipun setelah diseleksi Tahap I (persyaratan administratifnya) yang lolos hanya sebanyak 201 pelamar saja. Pada seleksi tahap II (penilaian tulisan pribadi) yang lolos tinggal 118 pendaftar. Setelah diadakan seleksi tahap III (tes psikologis), para pelamar yang dinyatakan lolos sebanyak 47 orang saja. Dari 47 nama tersebut, hanya ada 1 petahana komisioner KPI Pusat yang lolos dan sejumlah petahana komisioner KPID; sedangkan sisanya rata-rata berprofesi sebagai akademisi, peneliti, tokoh masyarakat, dan para aktivis. Adapun 47 pelamar yang lolos tersebut sudah mengikuti seleksi wawancara di hadapan Panitia Seleksi Calon Anggota KPI Periode 2016-2019 pada 13 Juli 2016 kemarin.
Hasilnya, pada tanggal 27 Juni 2016 Panitia Seleksi melalui Menteri Komunikasi dan Informatika RI menyerahkan sebanyak 27 kandidat kepada Komisi 1 DPR RI untuk diadakan uji publik. Dari 27 pelamar tersebut nanti Komisi 1 DPR RI akan menjatuhkan pilihan (menetapkan) sebanyak 9 calon komisioner KPI Pusat yang akan diserahkan dan ditetapkan oleh Presiden RI (Joko Widodo).
Publik memiliki kepentingan utama untuk mengawal agar Panitia Seleksi dan DPR RI benar-benar bisa menghasilkan para komisioner KPI Pusat yang baru nanti profesional. Kegamangan (bayang-bayang dari rasa ketakutan) yang dimiliki oleh para komisioner KPI Pusat dalam menegakkan regulasi di bidang penyiaran di negeri ini, tentu bisa merugikan publik. Mengingat keberadaan lembaga penyiaran baik radio maupun televisi saat ini sangat strategis dan vital dalam mempengaruhi keputusan para elit politik dan tokoh masyarakat. Bahkan keberadaan lembaga penyiaran juga sangat berpengaruh besar pada perilaku dan gaya hidup masyarakat luas. Karena efek terpaan isi media penyiaran yang bisa melampaui batas wilayah maupun batas negara ini, menjadikan media penyiaran memiliki karakteristik khusus. Soal perizinan (legalitas), soal dampak isi siaran, dan soal cetak biru penyiaran nasional hingga kini masih menjadi problematika serius yang dihadapi bangsa ini. Lemahnya kewenangan KPI Pusat maupun Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dalam menegakkan regulasi di bidang penyiaran, mengakibatkan progresivitas para komisioner KPI dalam menindak berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran (khususnya swasta dan berlangganan) cukup rendah.
Menurut hemat penulis, para komisioner KPI Pusat 2016-2019 yang nanti terpilih memiliki pekerjaan besar berhubungan dengan regulasi penyiaran dan upaya penegakannya. Para komisioner baru KPI Pusat yang terpilih harus menguasai dan memahami hal-hal sebagai berikut ini:
Pertama, mereka harus menguasai secara mendalam mengenai regulasi di bidang penyiaran sekaligus mendukung lahirnya regulasi baru di bidang penyiaran. Regulasi-regulasi di bidang penyiaran tidak cukup hanya dipahami saja, namun juga harus memahami bagaimana implementasinya di lapangan. Keberadaan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang selama ini menjadi tulang punggung dalam dunia penyiaran, sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan teknologi penyiaran yang beralih ke ranah digital.
Pengembangan media penyiaran berbasis pita lebar (broadband) dengan memanfaatkan jaringan kabel fiber optik menjadi keniscayaan yang tidak bisa dibendung lagi. Kementerian Komunikasi dan Informatika RI yang sudah meluncurkan proyek Palapa Ring Barat di Batam pada medio Juni 2016, menjadi babak baru dalam bidang telekomunikasi, media, dan penyiaran itu sendiri. Proyek Palapa Ring Barat tersebut akan diintegrasikan dengan Proyek Palapa Ring Tengah dan Timur. Dengan begitu, seluruh kabupaten/kota se-Indonesia akan dilalui jaringan kabel fiber optik. Fiber optik merupakan saluran transmisi terbuat dari serat kaca/plastik; di mana teknologi ini mampu mengirimkan data dalam bentuk audio, visual, maupun multimedia dengan kecepatan cahaya. Adapun teknologi ini dimanfaatkan untuk keperluan koneksi Internet, telpon, media penyiaran, bisnis dan sebagainya dengan keluaran (out put) yang sempurna jika dibandingkan dengan teknologi analog. Untuk sederhananya, jaringan fiber optik itu ibarat jalan tol (raya) yang menghubungkan berbagai kota/kabupaten, provinsi, bahkan lintas negara di dunia ini melalui kabel fiber optik bawah laut (samudera).
Tentunya teknologi ini akan mengubah bagaimana perilaku dan konsumsi bermedia baik cetak, elektronik, maupun online; termasuk media penyiaran sendiri. Logislah kalau kemudian regulasinya pun harus disinergiskan dengan perkembangan zaman yang luar biasa ini. Dengan peralihan teknologi analog menuju digital ini, ada banyak peluang usaha dan potensi bisnis yang bisa digarap untuk menggerakkan sektor perekonomian nasional khususnya. Termasuk juga untuk menggerakkan sektor pendidikan, kesehatan, pariwisata, perdagangan, dan sebagainya. Pengaturan masalah ini agar tidak menimbulkan ketidakadilan sosial dibutuhkan peran sentral negara (pemerintah) dan seluruh elemen masyarakat.
Kedua, kini usia KPI Pusat sudah 13 tahun (berdiri sejak 2003 sampai sekarang). Namun hingga sekarang belum ada catatan sejarah mengenai penindakan tegas secara hukum yang dilakukan oleh KPI Pusat. KPI Pusat belum pernah sekalipun melakukan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) yang dimiliki oleh berbagai lembaga penyiaran yang selama ini dinilai melakukan pelanggaran serius. Artinya, para komisioner KPI Pusat selama ini "tidak memiliki nyali" untuk merekomendasikan kepada Menteri Komunikasi dan Informasi RI untuk mencabut IPP sejumlah lembaga penyiaran bermasalah.
Bahkan belum pernah ada catatan dari kinerja komisioner KPI Pusat memberikan denda administratif yang besarnya bisa sampai miliaran rupiah yang diberikan kepada lembaga penyiaran yang pernah melanggar. Masalah ini lebih kepada keberanian dalam menggunakan kewenangan KPI "yang terbatas”. Memang secara regulasi, KPI Pusat tidak memiliki hak untuk mencabut ataupun memberikan IPP (baik baru maupun perpanjangan). IPP menjadi otoritas dari Menteri Komunikasi dan Informatika RI.
Inilah persoalan serius yang sesungguhnya harus "digugat". KPI sebagai representasi dari rakyat (masyarakat) bidang penyiaran, artinya posisinya sejajar dengan keberadaan para wakil rakyat di legislatif (DPR/DPD/DPRD), seharusnya memiliki otoritas penuh untuk mengatur mengenai IPP (termasuk perizinan) ini. Adanya dualisme dalam bidang perizinan penyiaran ini, yang selama ini menjadi pemicu rendahnya kewenangan dan posisi tawar KPI/D di mata para pengelola Lembaga Penyiaran (Lembaga Penyiaran Publik/LPP, Lembaga Penyiaran Swasta/LPS, Lembaga Penyiaran Berlangganan/LPB, maupun Lembaga Penyiaran Komunitas/LPK).
Keberanian para komisioner KPI Pusat yang baru harus berani mendukung penguatan institusi KPI/D melalui reformasi regulasi penyiaran yang baru yaitu dengan memasukkan klausala KPI/D memiliki otoritas penuh untuk memberikan maupun mencabut IPP (baru dan perpanjangan). Sikap tegas ini menjadi solusi cerdas untuk mengatur industri media penyiaran di Tanah Air yang selama ini hanya dikuasai oleh sejumlah pemilik modal saja.
Ketiga, para komisioner KPI Pusat yang terpilih nanti juga harus memiliki cetak biru penyiaran nasional. Selama ini bangsa ini sama sekali belum memiliki cetak biru atau arsitektur penyiaran di negeri ini. Dominasi 13 grup raksasa media (Kompas Gramedia Group, Jawapos Group, MNC Group, Media Indonesia Group, dll.) yang menguasai industri media massa di Indonesia saat ini, menunjukkan betapa regulasi penyiaran kita masih sangat "liberalis-kapitalis". Sementara penguatan terhadap LPP maupun LPK yang selama ini tertelindas oleh superioritas LPS dan LPB, masih sangat rendah. Keadilan sosial dan keadilan ekonomi dalam bidang bisnis media memang harus segera ditegakkan, sebab jika hal itu gagal dilakukan; niscaya masa depan demokrasi di negeri ini terancam.
Semoga Komisi 1 DPR RI yang menjadi palang pintu terakhir dari penentuan 9 nama komisioner KPI Pusat Periode 2016-2019 yang baru, terbuka kesadarannya untuk itu. KPI adalah lembaga negara independen yang sangat strategis dalam menentukan peradaban bangsa ini. Di tengah gempuran media asing merunyam di Indonesia, sementara media nasional dan media lokal semakin "tidak karuan" isi siarannya; KPI menjadi harapan terakhir untuk memperbaiki kondisi media penyiaran kita. Harapan baru itu terletak pada 9 komisioner baru KPI Pusat 2016-2019 yang terpilih. Rakyat menanti gebrakan, segera!
*) Supadiyanto, S.Sos.I., M.I.Kom. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY Periode 2014-2017, Dosen Tetap Program Studi D3 Penyiaran Akademi Komunikasi Indonesia (AKINDO) Yogyakarta, e-mail: padiyanto@yahoo.com
Sumber: Dikutip dari Harian Bernas edisi Sabtu, 25 Juni 2016 atau bisa diklik: http://www.wayang.co.id/index.php/preview/id/63047
______________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Paket Ekonomi dan Liberalisasi
Oleh: Supadiyanto, S.Sos.I., M.I.Kom.*
Orde Reformasi cenderung semakin member kesempatan terbuka kepada pemodal asing memiliki saham berbagai perusahaan terbuka Indonesia. Kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi X belum lama ini pun mendorong searah. Pemerintah ingin mengundang investor asing dengan kesempatan selebar-lebarnya mendirikan atau menguasai saham-saham perusahaan Indonesia sampai 100% kepemilikan. Ini untuk mempercepat pembangunan infrastruktur sehingga pertumbuhan ekonomi nasional bisa meninggi.
Pada satu sisi, bisa jadi kebijakan tersebut meminggirkan pengusaha nasional maupun lokal dari kegiatan bisnis karena kalah bersaing dengan para konglomerat asing bersumber daya modal tak terbatas, sumber daya manusia lebih unggul, dan sumber daya teknologi jauh lebih modern. Paket Kebijakan Ekonomi X member kesempatan asing memiliki saham perusahaan bidang jasa pelayanan penunjang kesehatan hingga 67%, bisnis angkutan orang dengan moda darat sampai 49%, instalasi pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi/ekstra tinggi maksimal 49%. Kemudian, pengusaha asing bisa menguasai secara penuh sektor industri perfilman, termasuk peredarannya sampai 100%.
Paket juga mencoret 35 bidang usaha yang selama ini masuk dalam Daftar Negatif Investasi (DNI). Di antaranya, industri crumb rubber, coldstorage, pariwisata (restoran, bar, kafe, rekreasi, seni, hiburan, dan gelanggang olah raga). Mereka juga bisa terjun ke industri perfilman, penyelenggara transaksi perdagangan secara elektronik yang bernilai 100 miliar rupiah ke atas. Sektor lain yang terbuka adalah pembentukan lembaga pengujian perangkat telekomunikasi, pengusahaan jalan tol, pengelolaan dan pembuangan sampah tidak berbahaya, serta industri bahan baku obat.
Tampaknya, kebijakan ekonomi memang berorientasi kepentingan pasar asing. Liberalisasi ekonomi tersebut memberi ruang untuk menguasai pasar, sehingga pemilik modal akan menguasai sirkulasi barang, jasa, dan finansial di Tanah Air. Investor asing bisa mendirikan perusahaan multinasional baru dengan 100% saham atau gabungan dari para pengusaha asing. Cara lain, asing akan mengakuasisi perusahaan swasta maupun milik Negara, sehingga terjadi kepemilikan saham silang antara pengusaha nasional dan asing.
Bisa juga asing “menitipkan modal” dengan meminjam atau menyewa nama pengusaha nasional/local. Ini secara legal formal nama pengusaha asing tidak terdeteksi. Langkah terakhir ini sudah berlangsung lama. Liberalisasi ekonomi tidak akan member kesempatan adil terutama masyarakat kelas menengah ke bawah untuk mendapat kesejahteraan yang lebih baik. Sebab, masyarakat hanya menjadi kelas pekerja sekaligus pasar. Sementara, asing memperoleh keuntungan tenaga murah dan mendapat segmen pasar beraneka ragam yang masif.
Mudah Didikte
Liberasasi ekonomi jelas akan mengandaskan kedaulatan bernegara lantaran ekonomi pasar yang dikuasai asing bakal merajalela. Sistem ekonomi nasional dengan mudah didikte kepentingan negara asing melalui kekuatan ekonomi para investor. Memang selama ini sistem regulasi (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dsb.) yang terbit sejak era reformasi semakin berorientasi “liberal”. Contoh bisnis media penyiaran melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran member kesempatan asing menguasai saham perusahaan media penyiaran sampai 20%.
Bahkan dalam praktiknya, khususnya dalam bidang industri telekomunikasi, kepemilikan saham asing sudah mencapai hampir 90%. Lihat saja saham PT Telekomunikasi Indonesia Seluler Tbk (Telkomsel) 37,86% dikuasai Singapore Telecom dan publik asing. Pemerintah dan masyarakat Indonesia cukup memiliki 62,14%. PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL) dikuasai Telekom Malaysia Berhad dan asing sebesar 85,07%. Sisanya milik Telekomindo Primabhakti dan masyarakat Indonesia. Lebih prihatin lagi, pemerintah dan rakyat hanya memiliki saham 13,38% PT Indonesian Satellite Corporation Tbk (Indosat). Sementara Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd dan asing memegang saham 86,62%.
Penguasaan investor asing terhadap aset-aset penting bangsa tidak hanya pada sektor media penyiaran dan telekomunikasi. Mereka juga kokoh di perbankan mencapai 100%. Lihat komposisi Bank Danamon (68,83% asing), Bank Buana (61), Bank UOBI (100), Bank NISP (72), Bank OCBC (100), CIMB Niaga (60,38). Kemudian di Bank BII (55,85), Bank BTPN (71,6), Bank Panin dan Bank Permata masing-masing dikuasai asing 35 dan 44,5%. Berdasarkan data Dirjen Migas (2009), penguasaan asing juga terjadi pada dunia perminyakan. Lihat saja saham asing di Chevron (44%), Total E&P (10), dan Conoco Phillip (8). Sedangkan Pertamina dan mitranya yang selama ini dianggap mencerminkan perusahaan murni nasional hanya menguasai 16% pasar nasional.
Asing juga pengendali sektor pertambangan, bisnis elektronik, perhotelan, dan jasa. Kebebasan ekonomi bisa berdampak positif demi percepatan dalam jangka pendek. Namun untuk waktu lama sesungguhnya bisa menjerumuskan.
Yang harus dilakukan sekarang penguatan modal dan jaringan para pengusaha nasional. Jangan sampai mereka kalah bersaing. Sebagai alternatif, perlu dikaji lagi peluang perkembangan ekonomi Pancasila. Jangan sampai nilai-nilai Pancasila tersisih budaya, ideologi, maupun wacana asing.
*) Penulis adalah Dosen Tetap Akademi Komunikasi Indonesia (AKINDO) Yogyakarta
Sumber: Dikutip dari Koran Jakarta edisi Jumat, 17 Juni 2016 atau bisa diklik: http://www.koran-jakarta.com/paket-ekonomi-dan-liberalisasi/