Dosen AKINDO Beberkan Hasil Penelitian:
Ekonomi Politik Batik dan Identitas Kultural
YOGYAKARTA - Batik sebagai salah satu karya budaya tidak benda milik Indonesia yang sudah diakui UNESCO (representatif list of the intangible cultural heritage of humanity) sejak tahun 2009 silam; eksistensinya kini semakin terjepit oleh perkembangan zaman modern. Para pengrajin batik termasuk pengusaha batik di Tanah Air memiliki tantangan berat dalam mengkreatifi kondisi tersebut. Agar keberadaan batik sebagai basis bisnis, identitas kultural, dan alat diplomasi politik dapat berjalan dengan sinergis.
Persoalan mengenai batik tersebut dikupas tuntas dalam seminar yang dihelat oleh Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma dan Pascasarjana ISI Yogyakarta di Ruang Driyarkara Gedung Pusat Universitas Sanata Dharma pada Jumat, 22 Mei 2015 kemarin. Hadir sebagai narasumber utama: Karina Rima Melati, M.Hum. (Ketua Jurusan Periklanan Akademi Komunikasi Indonesia/AKINDO Yogyakarta) dan Agus Ismoyo (Seniman Batik).
Karina Rima Melati yang memaparkan hasil tesisnya berjudul: Ekonomi Politik dan Konstruksi Identitas Masyarakat Pekalongan Melalui Batik Motif Buketan”. Menurutnya, batik sudah menjadi wrasta tradisional yang lama berakar di Jawa yang menyimbolkan keluhuran, kompleksitas sikap adati, kreativitas, artistik, dan inovasi.
"Adanya tarik menarik antara pengusaha dan pembatik menunjukkan dinamika identifikasi yang berjalan terus-menerus. Untuk menunjukkan otentisitas batik, serta melanggengkan batik sebagai bentuk kebudayaan Indonesia, paradigma produksi ke depannya diharapkan bisa lebih humanis terutama terhadap pembatik," tutur Karina kepada puluhan peserta Seminar.
Pemberian ruang bagi pembatik, lanjut Karina, untuk mengalami sendiri bentuk-bentuk kreasinya dalam pembentukan motif batik; serta memberikan kelayakan upah agar mereka dapat mengandalkan batik sebagai ladang penghidupannya.
Menurut Agus Ismoyo, keberanian membuat motif batik yang tidak tunduk pada tren terkini yang ada; menjadi alternatif bagi para pengusaha batik agar tetap eksis di masa kini.
"Saya sendiri lebih mengandalkan pada konsep tumbuh saja, sebagaimana kehidupan pohon di hutan rimba. Mereka bisa tumbuh sendiri," tegasnya Ismoyo yang kerap berpameran di berbagai negara ini.
Dalam kesempatan tersebut Supadiyanto, M.I.Kom., dosen AKINDO menanyakan mengenai bagaimana peta kompetisi bisnis batik di kawasan segitiga batik Jawa yaitu Yogyakarta, Surakarta, dan Pekalongan; mengingat minimnya data penelitian mengenai batik. Senyampang dengan itu kolumnis di berbagai surat kabar tersebut juga mengungkapkan betapa batik dapat difungsikan sebagai media sakralisasi, politisiasi, sosialisasi, kapitalisasi, kulturalisasi, diplomasi, dan informasi; sehingga batik tidak terpinggirkan oleh zaman yang semakin hedonis. (ESPEDE)