• Home
  • Profil
    • Sambutan
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Mars
    • Struktur & Manajemen
    • Staff Pengajar
    • Laboratorium
    • Akreditasi
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Buku Panduan Akademik
    • Jadwal Kuliah
    • Jadwal Ujian
    • Semester Pendek
    • TA / PKL
    • Wisuda AKINDO
  • Program Studi
    • Public Relations
    • Advertising
    • Broadcasting R-TV dan Film
    • S1 ILMU KOMUNIKASI
  • Kemahasiswaan
    • PKKMB MABA
    • Himpunan Mahasiswa Jurusan
    • Unit Kegiatan Mahasiswa
    • Beasiswa
  • PMB
    • PMB Info
    • Pendaftaran Online
  • PUBLIKASI
    • Publikasi Ilmiah
    • Gagasan/Opini
    • Makalah Seminar
  • Kontak

Media sebagai Instrumen Mitologi dan Tantangannya bagi Bangsa Indonesia

Akindo Yogyakarta
27 Okt 2017
Artikel/Opini

 

Saya akan memulai tulisan ini dengan tiga pendapat tentang mitos yang menurut saya sering salah kaprah. Pertama, mitos secara umum seringkali disalahpahami semata sebagai produk dari masayarakat pra-tulis (dalam justifikasi wacana umum, orang melabeli masyarakat pra-tulis ini sebagai masyarakat primitif) yaitu masyarakat yang mengandalkan lisan dalam proses transfer pengetahuannya. Pengetahuan mengenai dunia sekitar, dalam masyarakat pra-tulis, disampaikan melalui lisan dalam bentuk kisah atau pun hikayat; yang dalam perjalanannya untuk kemudian direduksi menjadi legenda, dimana beserta dengan konsep tersebut melekat sifat ‘ketidakpastian’ dan ‘imaginasi’; sesuatu yang tidak riil, irasional.

Kedua, pada poin inilah ketika mitos diberi label irasional, segera dalam wacana umum mitos dikonfrontir dengan produk budaya modern yang dipersepsikan logis dan ilmiah. Logika ilmiah masyarakat modern untuk kemudian muncul sebagai antitesis dari mitos dan masyarakat pra-tulis dan ’primitif’. Ketiga, salah satu konsekuensi dari pengetahuan yang terbangun tersebut, adalah bahwa untuk kemudian masyarakat umum tidak pernah bisa dan tidak pernah ‘mampu’ membayangkan mitos masuk dalam produk-produk budaya dan masyarakat modern.

Berdasarkan kerangka pengetahuan yang salah kaprah tersebut, mobilisasi umum dimulai dengan tujuan memodernkan masyarakat agar senantiasa berpikir logis dan ilmiah. Bersamaan dengan upaya modernisasi pola pikir masyarakat tersebut, gerakan-gerakan anti produk pra-tulis dilakukan; dimulai dengan meninggalkan kisah-kisah dan hikayat lokal yang syarat dengan kearifan lokal, mengkonstruksi rasa malu menjadi bagian dari kisah dan hikayat lokal sebagai kebutuhan mendasar masyarakat hingga berusaha keras untuk mencari dan (lebih baik) mengkonsumsi produk lain dengan tujuan menggantikan identitas diri demi identitas baru sebagai masyarakat yang (dianggap) modern. Masyarakat, dalam konteks sosial politis yang demikian, untuk kemudian dikelompokkan sesederhana hanya sebagai ‘kelompok modern dan kelompok primitif’, ‘produktif dan kontra-produktif’; dan cukup.

Jika tidak modern, yang ditandai dengan berpikir logis dan ilmiah serta konsumsi terhadap produk-produk modern yang universal, berarti anda harus ikhlas dikelompokkan sebagai masyarakat primitive yang irasional dan seringkali diberi label terbelakang. Upaya dan kerja keras yang sungguh-sungguh, bahkan dari anggota masyarakat yang berada dalam geo-politik suatu kisah atau hikayat tertentu dalam menegasikan kisah dan hikayat lokal tersebut dengan memberi label mitos, untuk kemudian justru mengkonstruksi suatu mitos baru dalam masyarakat: mitos ‘modern-primitif’ dan dalam konteks yang lebih umum mitos ‘us-they’, kita atau mereka. masyarakat dikotak-kotakkan dalam kelompok-kelompok dimana kita ‘harus beda’ dengan mereka. produksi identitas pun diperkuat dengan konsumsi penampilan luar yang menjadi kode kelompok yang harus sangat berbeda dengan kode kelompok lain.

Poin ‘kemanusian’ dalam intelektual kisah dan hikayat lokal, bergeser menjadi nilai kelompok dengan logika kelompok yang mengabdi sebatas pada kepentingan kelompok. Media, baik media massa maupun media cyber; tidak bisa lagi dipungkiri perannya sebagai salah satu instrumen penting dalam pemenangan wacana atau pengetahuan umum tersebut. bisa dikatakan untuk kemudian siapa yang memiliki media, maka dialah yang menguasai dunia. Kemahadasyatan media, salah satunya terletak pada kemampuannya dalam membuat wacana mengenai realitas atau lebih tepatnya kebenaran umum. Kemampuan media massa, dalam mewacanakan realitas atau kebenaran umum tersebut, dalam kajian kritis, justru seringkali dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan sebuah bentuk penjajahan baru. sebuah imperialisme media, yang tidak lagi dikaitkan dengan penguasaan fisik melainkan pada konstruksi mental framed, dimana strategi imperialisme dilakukan pararel dengan alih-alih pendidikan akan spirit pembebasan dan kesederajatan dalam kemasan citra Modern.

Film, foto, artikel, berita; baik offline maupun online, menjadi beberapa produk media yang menurut Chapman dianggap sebagai “one of richest sources available for surveying the state of modern mythology”; melakukan proses imperialisme media melalui kode-kode visual dan teks yang disebarkan secara massif dan diperluas secara sosial, dalam tujuannya membangun suatu realitas media yang dalam praksisnya justru kebenarannya melampaui realitas yang sebenarnya, suatu hyperreality. Inilah mitos dalam dunia modern, sebuah organization of concent yang dibangun dengan sokongan media. Sebagaimana peran mitos “lama”, maka mitos modern ini juga memberi satu-satunya pedoman berpikir dan bersosial masyarakat yang berada dalam wilayah geopolitik mitos tersebut. Sebagaimana Levi Strauss menyatakan, bahwa “kita tidak benar-benar menjauh dari mitos lama tersebut, namun justru lebih dan lebih berupaya untuk mengintegrasikannya kedalam bidang penjelasan ilmiah.

Sementara Barthes , yang pemikirannya sangat dipengaruhi salah satunya oleh Strauss, mengatakan bahwa sebagai sebuah tipe ujaran, maka semua hal bisa menjadi mitos ketika hal tersebut dibawa oleh wacana; termasuk didalamnya fotografi, publikasi, film, olah raga bahkan berita dan lain sebagainya. Wacana menjadi poin penting dalam konteks mitos Barthes ini, dimana mitos bisa terwujud hanya jika pesan suatu objek di bawa oleh wacana dan diperlakukan sebagai wacana. Pada konteks yang demikian ini menurut Barthes, alasan menjadi penting dibandingkan makna esensial suatu pesan. Hal ini bisa dipahami ketika Barthes menyebutkan pesan sebagai sebuah mode pemaknaan. Beberapa kasus dibawah ini bisa dijadikan contoh, bagaimana disfungsi media; dimana media menjadi instrumen mitologi dipraktekkan:

1. Pemberitaan media online The HuffPo terkait kematian Khadafi-Libya Foto publikasi kematian Khadafi yang di-posting di media online The HuffPo difungsikan tidak hanya demi menempelkan label pada Khadafi orang yang pernah memimpin Libya dan mensejahterakan rakyat Libya melalui nasionalisasi industri minyak di Libya. Melalui foto publikasi yang di-posting media online The HuffPo ini, Khadafi dinarasikan sebagai pemimpin yang arogan, otoriter, namun sekaligus pengecut dan pecundang ketika dihadapkan pada penolakan dari rakyatnya yang digambarkan tidak mencintai dan antipati terhadap dirinya dan kebijakannya. Foto publikasi kematian Khadafi di media online The HuffPo tersebut juga sekaligus memberi label pada bangsa yang dipimpinnya tersebut sebagai bangsa yang barbarian; yang dinarasikan vis a vis dengan Khadafi, sebagai sekelompok rakyat yang penuh dendam, penuh kebencian dan sadis. Tujuan akhir dari upaya ‘penilaian’ ini salah satunya adalah mencari celah pelegalan masuknya intervansi Barat ke wilayah Libya; intervensi tersebut perlahan tapi pasti akan mengubah bentuk kebijakan Libya yang diarahkan demi satu-satunya benefit Barat: ekonomi maupun politik.

2. Film G 30 S PKI Anak-anak yang duduk di sekolah dasar tahun 1980an dan 1990an, tentu masih ingat bagaimana sekolah mewajibkan mereka untuk menonton film G30S PKI ini dan kemudian keesokan hari akan dijadikan tema pembelajaran di kelas. Film G30S PKI adalah sebuah film yang mengkisahkan tentang momen, yang oleh sejarah orde baru disebut sebagai cup de etat PKI atas pemerintahan RI, melalui scene-scene dalam film ini, pembantaian ketujuh tokoh nasional yang mayoritas adalah jenderal dideskripsikan, dan bagaimana ketika Sukarno yang minim hadir dalam eksekusi visual film tersebut dinarasikan sebagai pemimpin yang mengijinkan kelompok ini hadir dalam politik Indonesia Baru waktu itu justru powerless atas pemberontakan tersebut. Film tersebut jika direlasikan dengan beberapa buku sejarah nasional yang terbit menjelang reformasi politik, salah satunya buku yang ditulis oleh Manai Sophiaan dan diterbitkan oleh Yayasan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa ; maka muncul sebuah realitas baru yang kebenarannya jauh dari kebenaran awal yang dibangun melalui visualitas film ini. Sikap anti komunis dan anti Sukarno menjadi mitos yang dibangun yang diperlawankan dengan stabilitas nasional dan pembangunan; disamping keterlibatan beberapa pihak yang menjadi kunci tersulutnya G30S PKI dan perlakuan terhadap orang-orang terduga PKI pasca kejadian gagalnya G30S PKI tersebut dikeluarkan atau dieksnominasi dalam wacana pengetahuan tentang peristiwa G30S PKI itu sendiri Ketika kemudian muncul anjuran pemutaran kembali film ini untuk ditonton masyarakat bersamaan dengan mulai eksplisitnya sikap Amerika dan Korea Utara antara satu terhadap yang lainnya, juga menjadi perlu untuk di evaluasi lebih lanjut. Bukan dalam bentuk serta merta pelarangan pemutaran, namun perlu untuk kemudian membangun situasi yang objektif dan tidak berat sebelah, supaya kesalahpahaman sejarah; yang potensial mengkonstruksi judgement-judgement politik pada kelompok-kelompok tertentu tidak terulang kembali. Hal ini tentu saja untuk mengantisipasi produksi mitos dari kelompok-kelompok tertentu.

Pengetahuan atau fakta-fakta dari sumber-sumber lain yang bahkan secara ekstrem berbeda sikap atau keyakinan menjadi penting untuk juga dipublikasikan sebagai wacana pembanding, dan tentu saja menjamin dunia yang lebih demokratis; tidak hanya dalam pilihan politik saja melainkan juga dalam pilihan pemikiran dan pengetahuan. Melalui media, dalam konteks sebagaimana dicontohkan dalam kasus-kasus diatas, media menyebarkan mitos tentang “WE” dan “THEY”; bahwa ada upaya masyarakat dikotak-kotakkan menjadi “kita” dan “mereka”. sebuah aktivitas tulisan melalui visual yang memaksa secara subtle masyarakat untuk mengidentikkan dirinya dalam suatu kelompok mayoritas yang kemudian diperlawankan dengan kelompok lain yang bukan ‘kita’.

Pengetahuan, pengalaman dan penerimaan sosial, untuk kemudian bergeser menjadi HARUS SEPERTI atau bahkan HARUS IDENTIK SEPERTI. Beda, tidak mempunyai ruang dalam interaksi sosial; apakah itu beda pilihan, beda gaya, beda selera dan bahkan dalam taraf beda pendapat atau beda imaginasi. Hal ini merupakan norma sosial baru dimana media dan tentu saja praktisi media mempunyai peran yang tidak sedikit, dalam menyebarluaskan mitos “WE” dan “THEY” tersebut. Jika media dituntut profesionalitasnya melalui fungsi edukatif dan informatifnya; maka ketika media beralih fungsi menjadi sebatas instrumen mitologi suatu kelompok, inilah yang disebut sebagai disfungsi peran media; dimana media memberikan informasi yang terbatas dan selektif demi mengabdi pada kepentingan kelompok atau kelas tertentu dan bersamaan dengan fakta tersebut ditindaklanjuti dengan sikap-sikap dan bahkan aksi-aksi punisment yang dilakukan dengan mengatasnamakan kebaikan (goodness), demi kebenaran dan demi Tuhan; justru jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan cinta kasih.

Pada akhirnya, apakah anda masih percaya bahwa mitos hanya milik masyarakat pra-tulis yang sudah lama secara umum kita justifikasi sebagai masyarakat primitif yang terbelakang? Mitos tetaplah ada, hingga sekarang; ketika produk-produk modern sudah lazim kita terima dan konsumsi sebagai bagian keseharian kita. Mitos tetap akan hidup bersamaan dengan lazimnya konflik kepentingan antar kelompok terjadi di dunia; dan sebagaimana semua kelas berupaya untuk berkontribusi dalam sejarah dunia, maka mitos sebagai instrumen edukasi dan internalisasi ideologi akan selalu diproduksi oleh kelas-kelas yang berkuasa demi memapankan dominasinya dan tidak terkecuali oleh kelas-kelas inferior demi upaya struggle of hegemony terhadap kelas berkuasa. Mitos tetap ada dan selalu ada, hanya saja tema dan aktornya beralih sebagaimana dinamika sosial politik bergerak.

Tidak ada satupun mitos yang ditakdirkan abadi; sejarah manusialah yang mengubah realitas-realitas menjadi ujaran dan melalui sejarah manusia tersebut mitos dapat tetap hidup atau mati. Kuno ataupun modern, mitologi membutuhkan sebuah landasan sejarah, dan karenanya mitos sebagai sebuah tipe ujaran hanya mungkin terjadi karena dipilih melalui dan oleh sejarah dan bukan berkembang dari sesuatu yang alamiah. Kontribusi media dan praktisi media sebagai instrumen yang memilih sejarah, dalam hal ini, cukup signifikan; dengan kata lain, media menjadi salah satu elemen yang sangat menentukan apakan suatu mitos masih bisa bertahan atau tidak. Inilah wujud dari media masa kini, yang menjadi instrumen kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang biasanya mayoritas atau powerfull.

Dimana media mengubah dirinya sebagai corong kepentingan kelompok-kelompok tertentu dengan menyebarkan sentimen-sentimen pribadi, judgement sosial politik yang dinarasikan senatural atau sealami mungkin melalui kemampuan mimesis visual mereka atas realitas, yang tentu saja dipilih secara selektif. Inilah media yang disebut Salman sebagai media kebencian, yang menyebarkan bahasa tuduh dengan menggunakan topeng kebebasan pers, sikap kritis terhadap penguasa atau bahkan keyakinan pada keimanan. Realitas ini bukanlah realitas akhir dari suatu konsekuensi sosial, namun masih bisa dikelola sebagai dasar pertimbangan otokritik terhadap media dan praktisi media agar senantiasa berhati-hati dalam mengemas isu terlebih-lebih isu-isu SARA dan politik; sehingga bisa meminimalisir disfungsi peran mereka sebagai ‘penguasa’ wacana.

Dunia adalah pilihan: dan karenanya pun praktisi media boleh memilih menjadi agen produksi mitologi dengan fungsi judgement-nya (bahasa TUDUH) atau juga boleh memilih menjadi praktisi yang struggle terhadap disfungsi media tersebut dan berperan aktif dalam menyemikan spirit cinta kasih dan damai dalam keberagaman Indonesia. Dua hal yang tidak bisa kita tolak sebagai takdir dari Tuhan, yaitu tempat dimana kita lahir dan waktu ketika kematian menjemput.

Tapi bahkan atas segala kemahakuasaan-Nya pun Tuhan masih menyisakan banyak kesempatan dan kasih buat kita manusia untuk selalu berjuang dengan sungguh-sungguh demi hak kita memilih cara mati yang baik. Bagi praktisi media dan terutama calon praktisi media, inilah awal anda memulai pilihan-pilihan kedepannya demi menggapai cara mati yang baik dan indah; tapi tentu saja hak andalah untuk memilihnya, apakah anda ingin dikenang atau mengenang diri anda sendiri sebagai manusia yang menebarkan kebencian dan konflik atau dikenang sebagai seorang manusia yang memperjuangkan cinta kasih dan keadilan

 

*) Djati Prasetyani Hadi, M.A. Dosen Tetap Program Studi D3 Humas AKINDO dan Alumni Program S2 Kajian Budaya dan Media pada Sekolah Pascasarjana UGM.

*) Makalah ini disampaikan sebagai bahan Orasi Ilmiah dalam Sidang Senat Terbuka dan Wisuda Program Diploma III Akademi Komunikasi Indonesia (AKINDO) di Hotel Eastparc Yogyakarta pada Sabtu, 28 Oktober 2017.

Side Menu

  • Info
  • Prestasi
  • AKINDO Career Center
  • Karya Mahasiswa
  • P3M AKINDO
  • Kerjasama
  • Perpustakaan AKINDO
  • IAA (Ikatan Alumni AKINDO)
  • Polling
  • Buku Tamu
  • Download
  • YMOnline

Gallery

AKINDO TV RAKA FM - Listen Live BUKU TAMU
© 2014 AKINDO. All Rights Reserved

Support Online Kampus AKINDO


| Humas Akindo