• Home
  • Profil
    • Sambutan
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Mars
    • Struktur & Manajemen
    • Staff Pengajar
    • Laboratorium
    • Akreditasi
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Buku Panduan Akademik
    • Jadwal Kuliah
    • Jadwal Ujian
    • Semester Pendek
    • TA / PKL
    • Wisuda AKINDO
  • Program Studi
    • Public Relations
    • Advertising
    • Broadcasting R-TV dan Film
    • S1 ILMU KOMUNIKASI
  • Kemahasiswaan
    • PKKMB MABA
    • Himpunan Mahasiswa Jurusan
    • Unit Kegiatan Mahasiswa
    • Beasiswa
  • PMB
    • PMB Info
    • Pendaftaran Online
  • PUBLIKASI
    • Publikasi Ilmiah
    • Gagasan/Opini
    • Makalah Seminar
  • Kontak

“Darurat” Undang-Undang Penyiaran

Akindo
18 Jun 2015

“Darurat” Undang-Undang Penyiaran;

Upaya Normatif-Regulatif-Konstruktif KPI/D (dan DPR RI) Menciptakan Arsitektur Penyiaran (Analog-Digital) yang Pro Publik di Era Konvergensi Multimedia Massa**

Oleh: Supadiyanto, S.Sos.I., M.I.Kom.

Komisioner (Koordinator) Pengawasan Isi (Program) Siaran KPID DIY 2014-2017,

Dosen Ilmu Komunikasi (Jurnalistik) Sejumlah PTS di DIY (Kontak/WA: 08179447204,

E-mail: padiyanto@yahoo.com, supadiyantoundip@gmail.com, Website: http://www.kompasiana.com/Supadiyanto)

Satu: Prolog

Jika dipetakan ada empat masalah mahabesar-serius yang saat ini tengah dihadapi oleh dunia penyiaran (digital) di Indonesia di era konvergensi multimedia massa. Pertama, soal konglomerasi (aglomerasi) media di mana saat ini tengah terjadi gejala oligopolimedia yang ke depan dipastikan mengarah terciptanya tripoli, duopoli, bahkan monopoli. Tentunya, kalau gejala ini didiamkan saja, bisa mengancam masa depan demokrasi di Tanah Air. Kedua, induk regulasi penyiaran yang masih “analog”, sementara perkembangan Teknologi Telekomunikasi, Media, dan Informatika (Telematika) sudah jauh melaju menuju “peradaban digital”. Berbagai persoalan baru muncul, sementara pada sisi lain; regulasi penyiaran yang ada belum (tidak) cukup cepat mengakomodir kepentingan tersebut. Ketiga, eksistensi KPI (KPI Pusat dan KPID) sebagai salah satu regulator di bidang penyiaran di Indonesia semakin “terkerdilkan”; bahkan kerap kali otoritasnya termandulkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. Keempat, minimnya produktivitas lembaga penyiaran (radio dan televisi) di daerah dalam memproduksi, mereproduksi, sekaligus menyiarkan program-program siaran lokal; sebagai implikasi atas dominasi program siaran “Jakartanan” di berbagai stasiun televisi dan radio berjaringan di Tanah Air, termasuk di DIY. Khususnya di DIY; di samping empat masalah serius di atas; masih ada dua tambahan lagi. Satu, struktur kelembagaan KPID DIY dalam peta birokrasi di DIY; belum sepenuhnya merepresentasikan KPID DIY sebagai “lembaga independen negara” (masih “lembaga negara independen”). Pasalnya, kedudukannya; termasuk anggaran operasional tahunannya yang minim itu masih “dititipkan” di Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika DIY. Pertanyaannya, bagaimana KPID DIY mau bisa eksis jika dalam posisi demikian?

Kedua, wilayah layanan siar untuk televisi yang bersiaran di DIY juga meliputi kawasan eks Karisidenan Surakarta (Solo Raya) dan sebagian kecil Kabupaten Magelang. Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 31 Tahun 2014 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Televisi Siaran Analog Pada Pita Ultra High Frequency (UHF) sebagai revisi atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.76 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Televisi Siaran Analog Pada Pita Ultra High Frequency (UHF); DIY memiliki satu wilayah layanan saja meliputi: Yogyakarta, Wonosari, Solo, Sleman, dan Wates dengan batas lokasi tes poin bagian terutara di Boyolali, batas timur laut di Sragen, batas timur di Gunung, batas tenggara di Wonosari, batas selatan di Paliyan, batas barat daya di Galur, dan batas barat di Wates, serta batas barat laut di Salaman (Magelang). Dengan demikian, wilayah “kekuasaannya” tidak hanya menjangkau se-DIY saja, tetapi melebar hingga Solo Raya dan sebagian kecil Magelang. Inilah yang kemudian kerap kali memicu “perseteruan” antara KPID DIY dan KPID Jawa Tengah sejak dahulu hingga saat ini.  Secara formal, berdasarkan Permenkominfo Nomor 31/2014 di atas; DIY memiliki jatah 17 kanal (14 kanal lama yang sudah penuh; plus tiga kanal analog tambahan yang belum lama ini diperebutkan oleh 13 perusahaan televisi).

Dua: Ekonomi Politik Media dan Konglomeratisasi Media

Apa yang pernah digagas oleh Profesor Vincent Mosco (Jerman) mengenai teori ekonomi politik media (komodifikasi, strukturasi, dan spasialisasi) tidak bisa terbantahkan lagi terjadi di Indonesia. Berbagai jaringan media massa akhirnya dikendalikan oleh pengusaha media yang sekaligus berprofesi ganda sebagai politisi (pejabat publik). Faktanya, hanya ada 13 grup perusahaan media swasta raksasa yang menguasai pasar. Mereka adalah MNC Group (Hary Tanoesoedibjo), Kompas Gramedia Group (Jacob Oetomo), Elang Mahkota Teknologi (Eddy Kusnadi Sariaatmadja),  Mahaka Media (Abdul Gani dan Erick Tohir),  CT Group (Chairul Tanjung), Beritasatu Media Holdings/Lippo Group (James Riady), Media Group (Surya Paloh),  Visi Media Asia/Bakrie & Brothers (Anindya Bakrie),  Jawa Pos Group (Dahlan Iskan dan Azrul Ananda),  MRA Media (Adiguna Soetowo dan Soetikno, Femina Group (Pia Alisyahbana dan Mirta Kartohadiprodjo), Tempo Inti Media (Yayasan Tempo), Media Bali Post Group (Satria Narada)  (Nugroho, Yanuar. dkk. 2012 dan Lim, M. 2012). 

Kini di bidang industri media radio, sejatinya sudah mengarah pada terciptanya duopoli, yakni dikendalikan MNC Group dan Mahaka Media Group. Di bidang industri media televisi, sesunggguhnya sudah mengarah terciptanya duopoli yang dikuasai oleh MNC Group dan Jawa Pos Group. Artinya, Jawa Pos Group sudah memegang kendali dalam industri media cetak dan media televisi, walaupun secara nyata dalam bidang industri televisi terjadi juga perebutan pasar sangat sengit antara 4 raksasa bisnis, Jawa Pos Group, CT Corp, Visi Media Asia dan Elang Makhkota Teknologi. Sedangkan MNC Group, secara meyakinkan mampu menjadi penguasa bisnis industri televisi sekaligus radio. Fakta ini juga terjadi di DIY; di mana perusahaan media lokal menjadi semakin “megap-megap” harus bersaing dengan para konglomeratisasi media di atas yang disuplai oleh sumber dana amat besar, sumber daya manusia tinggi dan banyak, serta dukungan jaringan media yang besar dan Telematika yang canggih. 

Tiga: “Darurat” Undang-Undang Penyiaran (Nomor 32 Tahun 2002)

Memang wacana perevisian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah cukup lama didengar publik. Memang dari segi temporal, UU tersebut telah berusia lebih dari 12 tahun. Padahal ada begitu banyak dinamika dan perubahan di bidang penyiaran yang berjalan sangat cepat. Sebagaimana pesan substantif dari prinsip hukum progresif yang pernah diprakarsai oleh Profesor Satjipto Rahardjo, bahwa hukum harus selalu menyesuaikan gerak perubahan  zaman. Bukan zaman yang harus mengikuti hukum.

Ada beberapa hal mendasar yang wajib dielaborasikan untuk merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002. Pertama, UU Nomor 32 Tahun 2002 belum mengatur secara khusus mengenai industri penyiaran digital. Memang sudah ada Permenkominfo RI Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial; namun hal tersebut belum cukup kokoh sebagai “pondasi hukum” untuk mengatur mengenai implementasi industri televisi digital di Indonesia. Dalam konteks DIY sudah ada 22 lembaga penyiaran televisi swasta digital yang sebagiannya sudah memperoleh IPP Prinsip; sedangkan sisanya masih dalam proses. Mereka sama sekali belum bisa melakukan ujicoba siaran (sementara) atau bersiaran karena sampai sekarang belum mendapatkan izin sewa frekuensi dari lembaga penyelenggara televisi yang mengantongi izin multiplexing (MUX). Tentu saja perkara ini menjadi persoalan rumit nan kompleks tersendiri, yang menjadi batu sandungan.  Apakah relevan ke depan, seluruh lembaga penyiaran swasta bukan pemegang MUX—kemudian berebut untuk mendapatkan izin sewa frekuensi dari pemegang MUX; sehingga pemilik MUX dengan seenaknya menetapkan tarif sewa yang mahal? Bagaiamana kalau pemilik MUX tidak mau menyewakan frekuensinya kepada kompetitor lainnya; apa sanksinya? Bagaimana solusi jika ada lembaga penyiaran televisi digital yang tidak mendapatkan izin sewa frekuensi dari lembaga penyiaran swasta (raksasa) pemilik MUX? Apakah akan lebih baik jika kemudian pemegang MUX ini dikelola saja oleh negara; misalnya diberikan kepada “TVRI dan RRI (pusat dan daerah)” atau dengan membentuk badan tersendiri? Tentu saja semuanya masih sebatas “wacana”.    Nah, UU hasil revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentunya harus memasukkan kajian regulatif-akademis mengenai hal tersebut.

Kedua, mengenai eksistensi KPI sendiri. Ada banyak hal yang harus direvisi khususnya Pasal 8 mengenai wewenang, tugas dan kewajiban KPI. Idealnya, kewenangan KPI semakin diperluas lagi, misalnya sampai pada tahap memberikan IPP dan atau tidak memberikan IPP perpanjangan kepada lembaga penyiaran televisi dan radio—yang selama ini dijalankan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika RI. Bahkan pada pasal 8, pada ayat 3 huruf b dan c: tugas dan kewajiban KPI disebutkan: “ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran”; dan “ ikut membangun iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait”. Secara redaksional, kata “ikut membantu” dan “ikut membangun” artinya sama dengan tidak menjadikan KPI sebagai subjek pokok; hanya sekadar sebagai subjek pembantu saja. Dengan demikian, wajarlah kalau kemudian kedudukan KPI hanya sekadar sebagai “pelengkap” saja bagi Kemenkominfo RI selama ini. Padahal kita mafhum, posisi Menkominfo RI yang sangat politis (karena mengangkat menteri menjadi hak prerogatif presiden). Menjadikan KPI (pusat maupun daerah) sebagai subjek/regulator utama dalam dunia penyiaran (digital) adalah sesuatu yang mutlak.

Pada pasal 9, ayat 3 yang menyatakan bahwa masa jabatan komisioner KPI hanya tiga tahun saja; sebaiknya perlu diperpanjang lagi. Pendeknya usia jabatan, membuat kinerja para komisioner tidak bisa optimal. Idealnya, masa jabatan komisioner KPI adalah lima tahun dan memungkinkan untuk dipilih kembali untuk satu periode kembali. Mengenai struktur keorganisasian KPI (pusat dan daerah) harusnya lebih disistematisasikan; sebab selama ini masing-masing KPID terkesan bekerja sendiri-sendiri; sebagai dampak ikutan dari adanya sistem yang tidak hirarkis. Apakah kemudian jika terjadi perubahan hubungan organisasi KPI/D yang semula koordinatif menjadi hirarkis; akan mengurangi nilai sebagai lembaga independen negara? Tergantung pada otoritas dan implementasi para komisioner sendiri menjadi regulator.

Adapun anggaran operasional yang dimiliki oleh masing-masing KPID juga berbeda-beda; tergantung pada besar kecilnya APBD masing-masing provinsi. KPID yang berdomisili pada Provinsi atau Daerah Ekonomi Maju; anggaran yang diperoleh menjadi “gemuk-besar”; sedangkan KPID yang berada di daerah “IDT”, menjadi “kurus-kecil”. Sebagaimana yang dialami oleh KPID DIY. Sebagai gambaran sederhana saja, anggaran yang dimiliki KPID DIY tahun 2015 ini kurang lebih Rp 900 juta; sedangkan KPID Jateng Rp 10,2 miliar, atau KPID Jatim Rp 8 miliar. Sejatinya minimnya dana taktis KPID DIY dapat dibantu melalui Dana Keistimewaan (Danais) DIY. Merujuk Peraturan Daerah Istimewa DIY Nomor 1/2013 tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan DIY terutama Pasal 42 Ayat 1 dan 4: “perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan hasil cipta, rasa, karya yang berupa seni yang mengakar dalam kehidupan masyarakat DIY (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 1 huruf f) dan menjadi ciri khas DIY dilaksanakan melalui: seni kreatif inti (seni rupa, seni suara/musik, se ni tari/gerak, seni sastra/bahasa, seni teater/drama/pertunjukan), seni budaya inti (film, museum, galeri, perpustakaan, fotografi), dan seni budaya umum (heritage, penerbitan, perekaman, televisi dan radio). Sehingga hal ini tidak bertentangan dengan norma yang ada. Jika selama ini Danais DIY banyak yang tidak terserap; hal itu tidak boleh terjadi lagi. Menjadi ideal jika anggaran operasional yang didapatkan oleh KPI/D berasal dari kombinasi antara APBD dan APBN; dengan menganut prinsip keadilan proporsional-distribusional. Di mana jumlah lembaga penyiaran televisi dan radio bersiaran pada wilayah layanan terkait, jumlah penduduk, dan luas wilayah, serta besarnya pendapatan asli daerah bersangkutan menjadi aspek-aspek yang patut diperhatikan untuk menentukan besarnya anggaran yang harus didapatkan oleh KPID agar lebih taktis (strategis). Menurut hemat penulis; akan lebih strategi lagi, jika ke depan; eksistensi KPI/D disinergi-elaborasikan dengan Dewan Pers, Komisi Informasi (daerah/pusat); Lembaga Sensor Film; mengingat tren industri multimedia massa saat ini juga semakin konvergentif (menyatu dalam satu saluran yang terintegrasi). 

Ketiga, eksistensi LPP, LPS, LPK, dan LPB (pada pasal 14-29) harus didudukan kembali secara proporsional; baik dalam hal perizinan maupun program siaran. Munculnya inisiatif DPR RI untuk menggolkan RUU RTRI perlu disikapi secara arif dan bijaksana. Pada satu sisi hal tersebut bisa menguatkan kedudukan LPP baik secara pendanaan maupun kualitas program siaran—yang selama ini terseok-seok. Namun pada aspek lain, langkah tersebut dikhawatirkan oleh para pengusaha media swasta; LPP akan menjadi ancaman bisnis baru bagi mereka jika status TVRI, RRI, maupun LPP Lokal dikeluarkan dari empat jenis jasa penyiaran (sebagaimana yang sudah menjadi tradisi sebelumnya).

Menurut pandangan penulis, RUU RTRI itu seharusnya juga mengakomodasikan LPK; sehingga menjadi RUU RTRI dan Radio Televisi Komunitas (RTK); mengingat kedudukan LPK selama ini menjadi “gurem” yang sangat kerdil dalam jagat penyiaran. Padahal kontribusinya sangat vital, sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat arus bawah atau dalam bahasa jurnalistik disebut sebagai pewarta warga (citizen journalism). Negara juga berkewajiban untuk membuatkan regulasi khusus terkait keberadaan LPK; karena perlakuan yang didapatkan oleh LPK selama ini cukup minimalis dan diskriminatif.

Soal perizinan misalnya, hendaknya tidak lagi disentralistiknya di Jakarta; tetapi sejak proses Evaluasi Dengar Pendapat (EDP), Forum Rapat Bersama (FRB), dan Evaluasi Uji Coba Siaran Sementara (EUCS), Izin Perpanjangan IPP dan sebagainya dipusatkan di daerah atau lokasi di mana calon lembaga penyiaran (radio dan televisi) akan bersiaran; sehingga hal ini akan memberikan informasi lebih akurat; karena “para pejabat di pusat” akan turun “turba” ke bawah. Berani tidak, DPR RI mengelaborasikan RUU RTRI dan RUU RTK?

Keempat, mengenai sanksi administratif yang terdapat pada Pasal 55 ayat 2; dalam praktiknya membutuhkan waktu relatif lama. Pemberian kewenangan bagi KPI untuk bisa menindak dan memberikan sanksi yang bersifat cepat misalkan segera dapat menghentikan acara siaran langsung maupun tunda (rekaman) dari lembaga penyiaran televisi maupun radio dinilai melanggar berat norma-norma yang ada dalam pasal-pasal Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP) dan Standar Program Siaran (SPS). Akan lebih sempurna lagi; jika KPI/D diberikan otoritas penuh untuk menjalankan sanksi pada poin f (tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran) dan poin f (pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran); yang selama ini masih dikendalikan oleh Menkominfo RI.

Kelima, perevisian PPP dan SPS menjadi hal yang urgen dan darurat mengingat adanya banyak perkembangan zaman dan kemajuan Telematika. Sebagai contoh sederhana, bagaimana P3 dan SPS belum cukup tangguh untuk menjerat bagi berbagai stasiun televisi yang menyiarkan kembali program acara yang pernah ditayangkan; namun hanya berubah nama program acaranya; padahal isi dari program acaranya sama. Bagaimana kalau PPP (atau P3) dan SPS ini “dikawinkan” atau”dilebur” saja menjadi satu kesatuan tunggal; sehingga menjadi P3SPS; bukan disendirikan—sebagaimana selama ini? Dengan demikian, akan lebih komplit dan aktual. Penegakan P3 dan SPS adalah harga mati; agar KPI/D bisa lebih kokoh lagi. Berdasarkan catatan, terhitung sejak 1 Desember 2014-05 Maret 2015; para komisioner KPID DIY 2014-2017 sudah melontarkan sebanyak 23 surat teguran kepada berbagai stasiun televisi yang bersiaran di DIY. Namun yang paling memprihatinkan, fakta menunjukkan dari 15 televisi analog yang bersiaran di DIY; baru ada sebanyak 3 televisi lokal dan berjaringan saja yang melaksanakan perintah SPS Pasal 68 (terkait program lokal). Artinya, 12 televisi berjaringan yang bersiaran di DIY didominasi program acara “Jakartanan”; bahkan siaran/program asing. Amat memprihatinkan…

Empat: Konklusi (Kesimpulan)

Perevisian (pembaharuan) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran—yang dibidani oleh sebagian pelaku sejarah dari mereka yang juga pernah melahirkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers; adalah langkah yang benar dan tepat untuk segera direalisasikan. Tantangan zaman yang semakin berat, era globalisasi yang semakin menghebat, kompetisi bisnis multimedia yang kian sengit; sementara degradasi moral-spiritual semakin menggila menimpa 240 juta penduduk ini; harus segera diantisipasi dengan benteng kokoh bernama “perevisian UU Penyiaran”. Tentu akan lebih elegan lagi; jika spirit perevisian UU Penyiaran ini disinergisasikan dengan perevisian UU Pers (Nomor 40 Tahun 1999), UU Telekomunikasi (Nomor 36 Tahun 1999), UU Informasi dan Transaksi Elektronik (Nomor 11 Tahun 2008), UU Keterbukaan Informasi Publik (Nomor 14 Tahun 2008). Bangsa ini membutuhkan Undang-Undang Konvergensi Multimedia Massa, maupun Telematika. Hanya keberanian (nyali) dari ratusan anggota DPR RI 2014-2019 yang bermental visioner saja dan dukungan penuh dari publik dan pelaku bisnis multimedia massa sendiri yang mampu merealisasikannya; atau publik akan terus-menerus menjadi korbannya. “Dipersuwun!”

Yogyakarta, 05 Maret 2015, pukul 08.03.20 WIB

 

*) Makalah ini disampaikan dalam acara bertajuk Mendengar Aspirasi Publik (Publik  Hearing): “Temu Berbagai Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Penyiaran: Ikhtiar Mencapai Iklim Penyiaran Lebih Baik” bersama narasumber Ahmad Hanafi Rais, M.A.P. (Komisi I DPR RI) yang dihelat KPID DIY di Aula Plaza Informasi Dishubkominfo DIY pada 04-05 Maret 2015 

Side Menu

  • Info
  • Prestasi
  • AKINDO Career Center
  • Karya Mahasiswa
  • P3M AKINDO
  • Kerjasama
  • Perpustakaan AKINDO
  • IAA (Ikatan Alumni AKINDO)
  • Polling
  • Buku Tamu
  • Download
  • YMOnline

Gallery

AKINDO TV RAKA FM - Listen Live BUKU TAMU
© 2014 AKINDO. All Rights Reserved

Support Online Kampus AKINDO


| Humas Akindo