• Home
  • Profil
    • Sambutan
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Mars
    • Struktur & Manajemen
    • Staff Pengajar
    • Laboratorium
    • Akreditasi
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Buku Panduan Akademik
    • Jadwal Kuliah
    • Jadwal Ujian
    • Semester Pendek
    • TA / PKL
    • Wisuda AKINDO
  • Program Studi
    • Public Relations
    • Advertising
    • Broadcasting R-TV dan Film
    • S1 ILMU KOMUNIKASI
  • Kemahasiswaan
    • PKKMB MABA
    • Himpunan Mahasiswa Jurusan
    • Unit Kegiatan Mahasiswa
    • Beasiswa
  • PMB
    • PMB Info
    • Pendaftaran Online
  • PUBLIKASI
    • Publikasi Ilmiah
    • Gagasan/Opini
    • Makalah Seminar
  • Kontak

Kategori: artikelopini


Tips Sukses Memilih PTS Berkualitas Pasca Pengumuman SBMPTN 2018

Akindo Yogyakarta
05 Jul 2018
Artikel/Opini

Panitia Pusat Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2018 telah mengumumkan hasil penjaringan calon mahasiswa baru berbagai PTN secara serentak pada Selasa, 3 Juli 2018 pukul 15.00 WIB melalui situs www.sbmptn.ac.id maupun situs-situs yang dikelola PTN penyelenggara SBMPTN. Pengumuman SBMPTN 2018 juga bisa disimak di berbagai media cetak (koran) edisi Rabu, 4 Juli 2018.

Sebagaimana diketahui bersama, sebanyak 860.001 peserta (lulusan SMA/K/MA) se-Indonesia mengikuti ujian tertulis dan keterampilan SBMPTN pada 8-11 Mei 2018 kemarin. Padahal kuota yang tersedia hanya 165.831 kursi (mahasiswa baru) yang tersebar merata pada 85 PTN di Indonesia. Khusus di DIY, ada 5 PTN yang menyediakan kursi bagi mahasiswa baru melalui jalur SBMPTN yakni: UGM, UNY, UIN Sunan Kalijaga, dan UPN Veteran Yogyakarta, serta ISI Yogyakarta. Tingkat kompetisi untuk memperebutkan kursi PTN sangat tinggi baik berlaku secara nasional maupun lokal, sebab jumlah pesertanya naik lebih tinggi daripada tahun sebelumnya. Logikanya, sudah dapat dipastikan akan ada 694.170 pendaftar yang gagal atau tidak lulus SBMPTN 2018. Angka yang sangat fantastis.

Mereka inilah yang kini dijadikan target pasar utama oleh para pengelola Perguruan Tinggi Swasta (PTS) maupun PTN yang membuka jalur mandiri. Peluang pasar yang sangat tinggi, menandakan bahwa "bisnis perguruan tinggi" di Indonesia masih sangat prospektif. Secara ekonomi-bisnis, eksistensi perguruan tinggi sebagai “mercusuar keilmuan” di negeri ini menjadi institusi yang masih diandalkan oleh institusi birokrasi, swasta, maupun publik. Begitu banyak perguruan tinggi negeri dan swasta berdiri di negeri ini.

Khusus di lingkungan Yogyakarta saja, terdapat 106 PTS dalam bentuk universitas, institut, sekolah tinggi, dan akademi. Secara nasional, jumlah PTS dan PTN se-Indonesia sekitar 3.400 buah. Dengan begitu banyaknya PTN/S yang ada di Indonesia, mengindikasikan bahwa geliat industri perguruan tinggi terus menanjak dari tahun ke tahun.Namun sekaligus bisa membingungkan para calon mahasiswa untuk memilih perguruan tinggi favorit mereka untuk melanjutkan kuliah. Karena minimalisnya informasi terkait petunjuk valid bagi para lulusan SMA/K/MA maupun orangtua/wali mereka untuk menemukan PTN/S yang berkualitas dan terjangkau secara kemampuan finansial; menyebabkan banyak kalangan mengaku kebingungan untuk menentukan pilihan ingin melanjutkan kuliah di kampus manakah di tengah ribuan PTN dan PTS yang ada di Indonesia ini.

Hal ini disebabkan kesulitan para calon mahasiswa maupun orangtua murid mendapatkan suplai informasi yang memadai dari berbagai sumber/referensi mengenai keunggulan yang dimiliki oleh berbagai PTN/S di Indonesia. Untuk itulah, berdasarkan pengalaman penulis selama 16 tahun belakangan ini baik status penulis pernah menjadi mahasiswa sejumlah PTN dan PTS serta pernah menjadi dosen sejumlah PTN maupun PTS di Yogyakarta; berikut ini dibeberkan mengenai tips sederhana untuk membantu memilih dan menentukan perguruan tinggi yang tepat (berkualitas namun biaya kuliah terjangkau) untuk tempat kuliah bagi para lulusan SMA/K/MA.

Pertama, lihat akreditasi institusi maupun program studi yang dimiliki oleh Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta yang akan dituju. Hanya ada 3 kategori akreditasi, yaitu A, B, dan C. Perguruan tinggi yang memperoleh akreditasi A artinya Amat Baik Sekali. Maksudnya secara kompetitif, perguruan tinggi yang mengantongi akreditasi A layak berkompetisi di tingkat Internasional. Sementara perguruan tinggi yang terakreditasi B (Baik Sekali) secara normatif layak berkompetisi di tingkat nasional. Sedangkan perguruan tinggi yang memperoleh akreditasi C (Cukup) hanya layak berkompetisi di tingkat lokal saja, atau kategori PT atau program studi yang masih baru. Dengan demikian paling tidak para calon mahasiswa baru harus mencari perguruan tinggi yang terakreditasi minimal B. Termasuk nilai akreditasi untuk program studinya juga minimal B. Hati-hati jika ada perguruan tinggi yang memperoleh akreditasi C atau bahkan belum terakreditasi baik secara institusi maupun program studi.

Kedua, cermati juga bagaimana kualitas dan kuantitas dosen (staf pengajar) yang dimiliki perguruan tinggi tersebut. Pada umumnya, perguruan tinggi yang baik akan menampilkan daftar dosen tetap yang mengajar pada program studi maupun kampus tersebut. Pastikan bahwa para dosen tetap yang mengajar pada perguruan tinggi tersebut telah bergelar minimal S2 (Master). Menjadi nilai plus jika perguruan tinggi tersebut memiliki dosen tetap yang bergelar Doktor maupun Profesor (Guru Besar). Pastikan juga bahwa para dosen tetap yang mengampu mata kulih di perguruan tinggi tersebut memiliki hasil-hasil penelitian yang terpublikasikan pada berbagai jurnal ilmiah. Semakin banyak hasil penelitian yang terpublikasikan milik para dosen tersebut, akan semakin bagus kualitas intelektual yang dimiliki para dosen.

Ketiga, untuk mengetahui kualitas perguruan tinggi cukup mudah dengan melihat jejak rekam dari para lulusan (alumni) yang sudah dihasilkan oleh perguruan tinggi bersangkutan. Semakin banyak alumni yang dimiliki sekaligus telah berkarir pada berbagai instansi pemerintah, swasta maupun mandiri; menunjukkan kaliber dari kualitas perguruan tinggi bersangkutan. Mengingat saat ini kita hidup di era globalisasi, semakin besarnya jaringan luar negeri yang dimiliki oleh sebuah kampus akan meningkatkan kredibilitas institusi terkait.

Keempat, parameter yang bisa diferivikasi oleh para lulusan SMA/K/MA untuk mengetahui kualitas sebuah perguruan tinggi adalah fasilitas dan infrastruktur yang dimiliki. Bangunan/gedung yang dimiliki seyogyanya adalah milik sendiri, bukan dari hasil menyewa. Pastikan fasilitas pendukung lainnya seperti laboratorium, perpustakaan, pusat studi, unit kegiatan mahasiswa, pusat kebugaran, dan fasilitas pendukung lainnya dimiliki oleh kampus tersebut. Semakin kecil atau sedikit fasilitas dan infrastruktur yang dimiliki, dapat dikategorikan kampus tersebut kurang bonafit.

Kelima, pastikan kurikulum yang dimiliki sudah sesuai dengan standar yang diberlakukan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI. Kurikulum perguruan tinggi terimplementasikan melalui mata kuliah yang akan diberikan kepada para mahasiswa. Semakin implementatif dan visioner kurikulum dan daftar mata kuliah yang akan diajarkan pada para mahasiswa, semakin baik kualitas kurikulum tersebut. Awal Februari 2017 kemarin Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) baru saja merilis daftar pemeringkatan PTN/S se-Indonesia berdasarkan kualitas dari 4 parameter. Parameter itu terdiri dari kualitas SDM, kualitas manajemen, kualitas hasil penelitian terpublikasi, dan kualitas kegiatan mahasiswa. Pada Agustus 2018 besok, Kemenristekdikti akan merilis data pemeringkatan kualitas PTN/S se-Indonesia.

Data tersebut sangat tepat dijadikan referensi utama bagi para lulusan SMA/K/MA untuk menentukan pilihan dan kualitas perguruan tinggi yang diminatinya. Sebaiknya juga sebelum para lulusan SMA/K/MA yang gagal SBMPTN 2018 mendaftarkan diri untuk kuliah di PTS maupun PTN dengan jalur mandiri; mereka harus mengumpulkan informasi lengkap yang bisa saja diperoleh dari Kantor Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) yang menaungi PTS pada setiap provinsi. Atau bisa juga mencari informasi dari saudara, rekan, tetangga maupun kenalan yang telah menempuh kuliah pada perguruan tinggi di suatu daerah.

Dengan mendengarkan pengalaman dan nasihat dari orangtua, guru, tokoh masyarakat, dan jurnalis juga menjadi langkah bijaksana sebelum para lulusan SMA/K/MA menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan studi lanjut ke suatu perguruan tinggi. Sukses kuliah merupakan impian yang dimiliki oleh hampir seluruh lulusan SMA/K/MA. Mereka ingin merealiasikan impian dan cita-cita mereka menjadi manusia-manusia yang berguna bagi kemajuan dan kesejahteraan keluarga, masyarakat, dan negara.

Kegagalan dalam SBMPTN 2018 jangan dimaknai sebagai kegagalan dari masa depan hidup. Maknailah sebagai pengalaman berharga dan kesuksesan yang tertunda. Kesuksesan dan lulus SBMPTN 2018 juga terus jangan dimaknai sebagai kebanggaan diri sehingga menjebak seseorang untuk bersikap angkuh, sombong, dan arogan. Maknailah sebagai ujian hidup untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar lagi. Sukses kuliah (entah di bangku PTN maupun PTS) merupakan titik awal dari pencapaian kesuksesan hidup Anda.

Selamat kepada para lulusan SMA/K/MA yang lulus SBMPTN 2018, semoga Anda menjadi mahasiswa teladan. Selamat juga kepada lulusan SMA/K/MA yang tidak lulus SBMPTN 2018, semoga Anda mendapatkan tempat kuliah yang lebih bagus. Ada seribu satu jalan menuju Roma.

*) Supadiyanto, S.Sos.I., M.I.Kom., Ketua Program Studi Sarjana (S1) Ilmu Komunikasi STIKOM Yogyakarta, Komisioner KPID DIY Periode 2014-2017, Alumni Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Sumber: artikel ini dielaborasi dari artikel milik penulis yang pernah termuat di Harian BERNAS.

Read more...

Media sebagai Instrumen Mitologi dan Tantangannya bagi Bangsa Indonesia

Akindo Yogyakarta
27 Okt 2017
Artikel/Opini

 

Saya akan memulai tulisan ini dengan tiga pendapat tentang mitos yang menurut saya sering salah kaprah. Pertama, mitos secara umum seringkali disalahpahami semata sebagai produk dari masayarakat pra-tulis (dalam justifikasi wacana umum, orang melabeli masyarakat pra-tulis ini sebagai masyarakat primitif) yaitu masyarakat yang mengandalkan lisan dalam proses transfer pengetahuannya. Pengetahuan mengenai dunia sekitar, dalam masyarakat pra-tulis, disampaikan melalui lisan dalam bentuk kisah atau pun hikayat; yang dalam perjalanannya untuk kemudian direduksi menjadi legenda, dimana beserta dengan konsep tersebut melekat sifat ‘ketidakpastian’ dan ‘imaginasi’; sesuatu yang tidak riil, irasional.

Kedua, pada poin inilah ketika mitos diberi label irasional, segera dalam wacana umum mitos dikonfrontir dengan produk budaya modern yang dipersepsikan logis dan ilmiah. Logika ilmiah masyarakat modern untuk kemudian muncul sebagai antitesis dari mitos dan masyarakat pra-tulis dan ’primitif’. Ketiga, salah satu konsekuensi dari pengetahuan yang terbangun tersebut, adalah bahwa untuk kemudian masyarakat umum tidak pernah bisa dan tidak pernah ‘mampu’ membayangkan mitos masuk dalam produk-produk budaya dan masyarakat modern.

Berdasarkan kerangka pengetahuan yang salah kaprah tersebut, mobilisasi umum dimulai dengan tujuan memodernkan masyarakat agar senantiasa berpikir logis dan ilmiah. Bersamaan dengan upaya modernisasi pola pikir masyarakat tersebut, gerakan-gerakan anti produk pra-tulis dilakukan; dimulai dengan meninggalkan kisah-kisah dan hikayat lokal yang syarat dengan kearifan lokal, mengkonstruksi rasa malu menjadi bagian dari kisah dan hikayat lokal sebagai kebutuhan mendasar masyarakat hingga berusaha keras untuk mencari dan (lebih baik) mengkonsumsi produk lain dengan tujuan menggantikan identitas diri demi identitas baru sebagai masyarakat yang (dianggap) modern. Masyarakat, dalam konteks sosial politis yang demikian, untuk kemudian dikelompokkan sesederhana hanya sebagai ‘kelompok modern dan kelompok primitif’, ‘produktif dan kontra-produktif’; dan cukup.

Jika tidak modern, yang ditandai dengan berpikir logis dan ilmiah serta konsumsi terhadap produk-produk modern yang universal, berarti anda harus ikhlas dikelompokkan sebagai masyarakat primitive yang irasional dan seringkali diberi label terbelakang. Upaya dan kerja keras yang sungguh-sungguh, bahkan dari anggota masyarakat yang berada dalam geo-politik suatu kisah atau hikayat tertentu dalam menegasikan kisah dan hikayat lokal tersebut dengan memberi label mitos, untuk kemudian justru mengkonstruksi suatu mitos baru dalam masyarakat: mitos ‘modern-primitif’ dan dalam konteks yang lebih umum mitos ‘us-they’, kita atau mereka. masyarakat dikotak-kotakkan dalam kelompok-kelompok dimana kita ‘harus beda’ dengan mereka. produksi identitas pun diperkuat dengan konsumsi penampilan luar yang menjadi kode kelompok yang harus sangat berbeda dengan kode kelompok lain.

Poin ‘kemanusian’ dalam intelektual kisah dan hikayat lokal, bergeser menjadi nilai kelompok dengan logika kelompok yang mengabdi sebatas pada kepentingan kelompok. Media, baik media massa maupun media cyber; tidak bisa lagi dipungkiri perannya sebagai salah satu instrumen penting dalam pemenangan wacana atau pengetahuan umum tersebut. bisa dikatakan untuk kemudian siapa yang memiliki media, maka dialah yang menguasai dunia. Kemahadasyatan media, salah satunya terletak pada kemampuannya dalam membuat wacana mengenai realitas atau lebih tepatnya kebenaran umum. Kemampuan media massa, dalam mewacanakan realitas atau kebenaran umum tersebut, dalam kajian kritis, justru seringkali dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan sebuah bentuk penjajahan baru. sebuah imperialisme media, yang tidak lagi dikaitkan dengan penguasaan fisik melainkan pada konstruksi mental framed, dimana strategi imperialisme dilakukan pararel dengan alih-alih pendidikan akan spirit pembebasan dan kesederajatan dalam kemasan citra Modern.

Film, foto, artikel, berita; baik offline maupun online, menjadi beberapa produk media yang menurut Chapman dianggap sebagai “one of richest sources available for surveying the state of modern mythology”; melakukan proses imperialisme media melalui kode-kode visual dan teks yang disebarkan secara massif dan diperluas secara sosial, dalam tujuannya membangun suatu realitas media yang dalam praksisnya justru kebenarannya melampaui realitas yang sebenarnya, suatu hyperreality. Inilah mitos dalam dunia modern, sebuah organization of concent yang dibangun dengan sokongan media. Sebagaimana peran mitos “lama”, maka mitos modern ini juga memberi satu-satunya pedoman berpikir dan bersosial masyarakat yang berada dalam wilayah geopolitik mitos tersebut. Sebagaimana Levi Strauss menyatakan, bahwa “kita tidak benar-benar menjauh dari mitos lama tersebut, namun justru lebih dan lebih berupaya untuk mengintegrasikannya kedalam bidang penjelasan ilmiah.

Sementara Barthes , yang pemikirannya sangat dipengaruhi salah satunya oleh Strauss, mengatakan bahwa sebagai sebuah tipe ujaran, maka semua hal bisa menjadi mitos ketika hal tersebut dibawa oleh wacana; termasuk didalamnya fotografi, publikasi, film, olah raga bahkan berita dan lain sebagainya. Wacana menjadi poin penting dalam konteks mitos Barthes ini, dimana mitos bisa terwujud hanya jika pesan suatu objek di bawa oleh wacana dan diperlakukan sebagai wacana. Pada konteks yang demikian ini menurut Barthes, alasan menjadi penting dibandingkan makna esensial suatu pesan. Hal ini bisa dipahami ketika Barthes menyebutkan pesan sebagai sebuah mode pemaknaan. Beberapa kasus dibawah ini bisa dijadikan contoh, bagaimana disfungsi media; dimana media menjadi instrumen mitologi dipraktekkan:

1. Pemberitaan media online The HuffPo terkait kematian Khadafi-Libya Foto publikasi kematian Khadafi yang di-posting di media online The HuffPo difungsikan tidak hanya demi menempelkan label pada Khadafi orang yang pernah memimpin Libya dan mensejahterakan rakyat Libya melalui nasionalisasi industri minyak di Libya. Melalui foto publikasi yang di-posting media online The HuffPo ini, Khadafi dinarasikan sebagai pemimpin yang arogan, otoriter, namun sekaligus pengecut dan pecundang ketika dihadapkan pada penolakan dari rakyatnya yang digambarkan tidak mencintai dan antipati terhadap dirinya dan kebijakannya. Foto publikasi kematian Khadafi di media online The HuffPo tersebut juga sekaligus memberi label pada bangsa yang dipimpinnya tersebut sebagai bangsa yang barbarian; yang dinarasikan vis a vis dengan Khadafi, sebagai sekelompok rakyat yang penuh dendam, penuh kebencian dan sadis. Tujuan akhir dari upaya ‘penilaian’ ini salah satunya adalah mencari celah pelegalan masuknya intervansi Barat ke wilayah Libya; intervensi tersebut perlahan tapi pasti akan mengubah bentuk kebijakan Libya yang diarahkan demi satu-satunya benefit Barat: ekonomi maupun politik.

2. Film G 30 S PKI Anak-anak yang duduk di sekolah dasar tahun 1980an dan 1990an, tentu masih ingat bagaimana sekolah mewajibkan mereka untuk menonton film G30S PKI ini dan kemudian keesokan hari akan dijadikan tema pembelajaran di kelas. Film G30S PKI adalah sebuah film yang mengkisahkan tentang momen, yang oleh sejarah orde baru disebut sebagai cup de etat PKI atas pemerintahan RI, melalui scene-scene dalam film ini, pembantaian ketujuh tokoh nasional yang mayoritas adalah jenderal dideskripsikan, dan bagaimana ketika Sukarno yang minim hadir dalam eksekusi visual film tersebut dinarasikan sebagai pemimpin yang mengijinkan kelompok ini hadir dalam politik Indonesia Baru waktu itu justru powerless atas pemberontakan tersebut. Film tersebut jika direlasikan dengan beberapa buku sejarah nasional yang terbit menjelang reformasi politik, salah satunya buku yang ditulis oleh Manai Sophiaan dan diterbitkan oleh Yayasan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa ; maka muncul sebuah realitas baru yang kebenarannya jauh dari kebenaran awal yang dibangun melalui visualitas film ini. Sikap anti komunis dan anti Sukarno menjadi mitos yang dibangun yang diperlawankan dengan stabilitas nasional dan pembangunan; disamping keterlibatan beberapa pihak yang menjadi kunci tersulutnya G30S PKI dan perlakuan terhadap orang-orang terduga PKI pasca kejadian gagalnya G30S PKI tersebut dikeluarkan atau dieksnominasi dalam wacana pengetahuan tentang peristiwa G30S PKI itu sendiri Ketika kemudian muncul anjuran pemutaran kembali film ini untuk ditonton masyarakat bersamaan dengan mulai eksplisitnya sikap Amerika dan Korea Utara antara satu terhadap yang lainnya, juga menjadi perlu untuk di evaluasi lebih lanjut. Bukan dalam bentuk serta merta pelarangan pemutaran, namun perlu untuk kemudian membangun situasi yang objektif dan tidak berat sebelah, supaya kesalahpahaman sejarah; yang potensial mengkonstruksi judgement-judgement politik pada kelompok-kelompok tertentu tidak terulang kembali. Hal ini tentu saja untuk mengantisipasi produksi mitos dari kelompok-kelompok tertentu.

Pengetahuan atau fakta-fakta dari sumber-sumber lain yang bahkan secara ekstrem berbeda sikap atau keyakinan menjadi penting untuk juga dipublikasikan sebagai wacana pembanding, dan tentu saja menjamin dunia yang lebih demokratis; tidak hanya dalam pilihan politik saja melainkan juga dalam pilihan pemikiran dan pengetahuan. Melalui media, dalam konteks sebagaimana dicontohkan dalam kasus-kasus diatas, media menyebarkan mitos tentang “WE” dan “THEY”; bahwa ada upaya masyarakat dikotak-kotakkan menjadi “kita” dan “mereka”. sebuah aktivitas tulisan melalui visual yang memaksa secara subtle masyarakat untuk mengidentikkan dirinya dalam suatu kelompok mayoritas yang kemudian diperlawankan dengan kelompok lain yang bukan ‘kita’.

Pengetahuan, pengalaman dan penerimaan sosial, untuk kemudian bergeser menjadi HARUS SEPERTI atau bahkan HARUS IDENTIK SEPERTI. Beda, tidak mempunyai ruang dalam interaksi sosial; apakah itu beda pilihan, beda gaya, beda selera dan bahkan dalam taraf beda pendapat atau beda imaginasi. Hal ini merupakan norma sosial baru dimana media dan tentu saja praktisi media mempunyai peran yang tidak sedikit, dalam menyebarluaskan mitos “WE” dan “THEY” tersebut. Jika media dituntut profesionalitasnya melalui fungsi edukatif dan informatifnya; maka ketika media beralih fungsi menjadi sebatas instrumen mitologi suatu kelompok, inilah yang disebut sebagai disfungsi peran media; dimana media memberikan informasi yang terbatas dan selektif demi mengabdi pada kepentingan kelompok atau kelas tertentu dan bersamaan dengan fakta tersebut ditindaklanjuti dengan sikap-sikap dan bahkan aksi-aksi punisment yang dilakukan dengan mengatasnamakan kebaikan (goodness), demi kebenaran dan demi Tuhan; justru jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan cinta kasih.

Pada akhirnya, apakah anda masih percaya bahwa mitos hanya milik masyarakat pra-tulis yang sudah lama secara umum kita justifikasi sebagai masyarakat primitif yang terbelakang? Mitos tetaplah ada, hingga sekarang; ketika produk-produk modern sudah lazim kita terima dan konsumsi sebagai bagian keseharian kita. Mitos tetap akan hidup bersamaan dengan lazimnya konflik kepentingan antar kelompok terjadi di dunia; dan sebagaimana semua kelas berupaya untuk berkontribusi dalam sejarah dunia, maka mitos sebagai instrumen edukasi dan internalisasi ideologi akan selalu diproduksi oleh kelas-kelas yang berkuasa demi memapankan dominasinya dan tidak terkecuali oleh kelas-kelas inferior demi upaya struggle of hegemony terhadap kelas berkuasa. Mitos tetap ada dan selalu ada, hanya saja tema dan aktornya beralih sebagaimana dinamika sosial politik bergerak.

Tidak ada satupun mitos yang ditakdirkan abadi; sejarah manusialah yang mengubah realitas-realitas menjadi ujaran dan melalui sejarah manusia tersebut mitos dapat tetap hidup atau mati. Kuno ataupun modern, mitologi membutuhkan sebuah landasan sejarah, dan karenanya mitos sebagai sebuah tipe ujaran hanya mungkin terjadi karena dipilih melalui dan oleh sejarah dan bukan berkembang dari sesuatu yang alamiah. Kontribusi media dan praktisi media sebagai instrumen yang memilih sejarah, dalam hal ini, cukup signifikan; dengan kata lain, media menjadi salah satu elemen yang sangat menentukan apakan suatu mitos masih bisa bertahan atau tidak. Inilah wujud dari media masa kini, yang menjadi instrumen kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang biasanya mayoritas atau powerfull.

Dimana media mengubah dirinya sebagai corong kepentingan kelompok-kelompok tertentu dengan menyebarkan sentimen-sentimen pribadi, judgement sosial politik yang dinarasikan senatural atau sealami mungkin melalui kemampuan mimesis visual mereka atas realitas, yang tentu saja dipilih secara selektif. Inilah media yang disebut Salman sebagai media kebencian, yang menyebarkan bahasa tuduh dengan menggunakan topeng kebebasan pers, sikap kritis terhadap penguasa atau bahkan keyakinan pada keimanan. Realitas ini bukanlah realitas akhir dari suatu konsekuensi sosial, namun masih bisa dikelola sebagai dasar pertimbangan otokritik terhadap media dan praktisi media agar senantiasa berhati-hati dalam mengemas isu terlebih-lebih isu-isu SARA dan politik; sehingga bisa meminimalisir disfungsi peran mereka sebagai ‘penguasa’ wacana.

Dunia adalah pilihan: dan karenanya pun praktisi media boleh memilih menjadi agen produksi mitologi dengan fungsi judgement-nya (bahasa TUDUH) atau juga boleh memilih menjadi praktisi yang struggle terhadap disfungsi media tersebut dan berperan aktif dalam menyemikan spirit cinta kasih dan damai dalam keberagaman Indonesia. Dua hal yang tidak bisa kita tolak sebagai takdir dari Tuhan, yaitu tempat dimana kita lahir dan waktu ketika kematian menjemput.

Tapi bahkan atas segala kemahakuasaan-Nya pun Tuhan masih menyisakan banyak kesempatan dan kasih buat kita manusia untuk selalu berjuang dengan sungguh-sungguh demi hak kita memilih cara mati yang baik. Bagi praktisi media dan terutama calon praktisi media, inilah awal anda memulai pilihan-pilihan kedepannya demi menggapai cara mati yang baik dan indah; tapi tentu saja hak andalah untuk memilihnya, apakah anda ingin dikenang atau mengenang diri anda sendiri sebagai manusia yang menebarkan kebencian dan konflik atau dikenang sebagai seorang manusia yang memperjuangkan cinta kasih dan keadilan

 

*) Djati Prasetyani Hadi, M.A. Dosen Tetap Program Studi D3 Humas AKINDO dan Alumni Program S2 Kajian Budaya dan Media pada Sekolah Pascasarjana UGM.

*) Makalah ini disampaikan sebagai bahan Orasi Ilmiah dalam Sidang Senat Terbuka dan Wisuda Program Diploma III Akademi Komunikasi Indonesia (AKINDO) di Hotel Eastparc Yogyakarta pada Sabtu, 28 Oktober 2017.

Read more...

Side Menu

  • Info
  • Prestasi
  • AKINDO Career Center
  • Karya Mahasiswa
  • P3M AKINDO
  • Kerjasama
  • Perpustakaan AKINDO
  • IAA (Ikatan Alumni AKINDO)
  • Polling
  • Buku Tamu
  • Download
  • YMOnline

Gallery

AKINDO TV RAKA FM - Listen Live BUKU TAMU
© 2014 AKINDO. All Rights Reserved

Support Online Kampus AKINDO


| Humas Akindo